Sunday, May 19, 2013

Tentang Sekolah dan Pendidikan

Setelah dulu magang selama satu bulan di Sekolah Cikal dan hampir tiga bulan bekerja di Sekolah Cita Buana, saya menarik satu kesimpulan: Pendidikan yang baik memang mahal, meskipun pendidikan yang mahal juga belum tentu baik.

Dulu, saya mencibir sekolah-sekolah yang terlalu mahal. Sekolah-sekolah berisi anak-anak orang kaya yang sejak kecil terbiasa untuk menjalani hidup dengan cara yang paling mudah. Sekolah-sekolah berisi anak-anak yang orang tuanya memiliki gengsi yang terlalu tinggi, sehingga tidak keberatan merogoh kocek dalam asal anaknya bisa masuk ke sekolah mahal yang terkenal. Sekolah-sekolah yang selalu bikin macet setiap pagi, dan yang lapangan parkirnya selalu dipenuhi mobil-mobil mewah. Sekolah yang nantinya akan membuat anak semakin borjuis.

Sekarang, saya tahu bahwa ada alasan di balik jutaan rupiah yang harus dibayar orang tua setiap bulan. Sekolah yang baik memerlukan sarana dan prasarana yang bisa menunjang pembelajaran (termasuk lahan yang luas agar anak-anak bebas bermain dan mengeksplorasi lingkungannya), guru-guru yang berkualitas (sehingga harus dibayar lebih mahal), serta kurikulum yang terintegrasi dari beberapa negara yang sistem pendidikannya sudah sangat baik. Semua memerlukan biaya yang besar, sehingga biaya bulanan yang harus dibayar orang tua pun pun bisa menjadi lebih besar daripada penghasilan freshgraduate di Jakarta. Sekolah yang baik memang tidak harus mahal, tapi sekolah yang mahal karena sistem pendidikan, pendidik, serta fasilitasnya (bukan karena pengelolanya terlalu mementingkan profit) will be worth every penny. You will definitely get what you paid.

Menurut saya, sekolah (terutama TK dan sekolah dasar) adalah investasi. Bukan hanya investasi dari segi finansial loh ya, tapi investasi dalam "membentuk" anak agar bisa sesuai dengan apa yang kita harapkan. Apa yang ditanamkan di sekolah dan di rumah, jika terinternalisasi dengan baik oleh anak, akan membentuk karakter seorang anak. Bagaimana cara berpikir, berperilaku, dan menilai sesuatu. Hingga saat ini, saya yang tadinya anti-sekolah-mahal jadi bimbang... Apakah nanti saya juga harus menyekolahkan anak-anak saya di sekolah yang mahal?

Bagaimana pun, layaknya semua hal di dunia ini, tidak ada sekolah yang sempurna. Itulah yang membuat saya kebingungan jika ada orang yang menanyakan rekomendasi SD swasta untuk anaknya. Memilih SD untuk anak menurut saya serupa dengan memilih pasangan hidup.. Pada akhirnya, harus ada yang lebih diprioritaskan. Beberapa orang lebih memperhatikan penampilan - bagaimana fasilitasnya, aksesnya, gengsinya. Buat saya, sekolah yang paling tepat adalah sekolah yang mengajarkan nilai-nilai yang sama (atau sejalan) dengan yang ingin diajarkan oleh orang tua kepada anaknya. Karenanya, sebelum menyekolahkan anak, orang tua harus tahu terlebih dahulu, nilai apa yang dianggap penting dan ingin diajarkan kepada anak. Agama kah? Kompetisi? Moral? Seni? Alam? Akademis? Toleransi antar budaya dan agama? Pengembangan potensi diri dengan maksimal?

Faktanya, setiap sekolah beserta unsur di dalamnya memiliki nilai yang berbeda-beda, yang nantinya akan diturunkan kepada setiap peserta didik di sekolah tersebut. Makanya, penting untuk menyesuaikan ekspektasi orang tua dengan apa yang ditawarkan oleh sekolah. Menurut saya, mendidik seorang anak harus dibarengi oleh konsistensi dari setiap aspek di lingkungan. Jangan sampai apa yang diajarkan oleh orang tua di rumah ternyata berbeda dengan kenyataan yang ditemui di sekolah, atau malah sebaliknya.

Buat saya pribadi, salah satu nilai yang paling penting yang harus ditanamkan oleh para pendidik di sekolah adalah nilai agama. Karenanya, sekolah anak saya nanti harus sekolah Islam. Itu dulu yang terpenting. Kenapa? Karena anak-anak belajar melalui meniru dan melalui pembiasaan. Bagaimana pun, ritual-ritual keagamaan harus dibiasakan sejak dini. Dan saya percaya, anak yang sudah dibekali dengan pendidikan agama yang baik (termasuk di dalamnya mengenai pendidikan akhlak), akan memiliki moral yang baik pula, sehingga pendidikan agama (di rumah dan di sekolah) adalah sebuah fondasi untuk menghasilkan generasi yang berkualitas. Belajar agama itu bukan hanya di ranah kognitif, tapi juga harus sampai ke ranah afektif. Bukan hanya dengan menghapal ayat dan fiqih, tapi juga melalui contoh tentang cara berperilaku yang baik.

Selanjutnya, saya sangat mengagumi sekolah-sekolah berkurikulum internasional (atau kurikulum yang dibuat sendiri oleh orang-orang yang paham tentang pendidikan) karena kurikulumnya membiasakan anak untuk berpikir kritis. Anak-anak ini tidak diajarkan untuk melalap buku dan menghapalkan apa yang ada di buku (beberapa sekolah internasional bahkan tidak punya buku pelajaran!). Instead, mereka diajak untuk membahas kejadian di sekitar mereka. Mereka dibiasakan untuk menggunakan logika mereka - mengapa bisa seperti itu, apa saja dampak negatif dan positif dari suatu kejadian, apa yang bisa dilakukan, dan lainnya. Mereka dibiasakan untuk menggunakan otak mereka yang luar biasa potensinya untuk menganalisis, bukan hanya untuk menghapal. Selain itu, anak-anak juga dibiasakan untuk melakukan presentasi sejak dini. Mereka dibiasakan untuk berani berbicara di depan umum, berani berpendapat, dan berani memberikan kritik dan saran. Saya percaya, pengajaran dengan metode seperti ini akan jauh lebih bermanfaat daripada pelajaran-pelajaran akademis yang diujikan oleh negara.

Taksonomi Bloom (yang telah direvisi). Sedih kan, begitu tahu kalau UAN hanya menguji satu atau dua tujuan pendidikan yang paling bawah?

Selain itu, saya sangat mengapresiasi kedua sekolah yang sudah pernah saya masuki tersebut karena mengajarkan seni dan olah raga dalam porsi yang sangat besar. Ada pelajaran musik, visual art, drama, dan PE (pendidikan jasmani). Menurut saya, hal ini menjadi sangat baik karena pelajaran yang seringkali dianggap tidak penting (bahkan oleh saya, ketika sekolah dulu) ini memberikan kesempatan lebih besar kepada anak untuk mengembangkan kreativitasnya, dan untuk menjadi diri mereka sendiri. Selain itu, porsi pelajaran nonakademis yang cukup besar menurut saya sangat baik karena membuat setiap anak memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya. Ketika magang di Cikal dulu, saya bisa melihat potensi yang dimiliki setiap anak di kelas saya - karena terdapat kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan kemampuannya. Hal ini sangat penting bagi self-esteem anak, karena ia akan dinilai orang lain (dan menilai diri sendiri karenanya) berdasarkan bakat dan kemampuan yang ia miliki, bukan hanya berdasarkan pelajaran-pelajaran yang dianggap penting oleh lingkungan.
Hal yang seringkali dilupakan oleh orang tua, guru, atau siapa saja: menilai anak hanya dari pelajaran-pelajaran yang dianggap penting (terutama pelajaran-pelajaran yang di UAN-kan)


Karena alasan ini juga, saya beranggapan bahwa sekolah yang baik tidak akan menerapkan sistem ranking untuk menentukan mana anak yang paling baik. Setiap anak itu istimewa, dan membandingkan mereka hanya berdasarkan beberapa aspek tertentu buat saya adalah keputusan yang tidak adil untuk mereka.

But then again, pendidikan yang sempurna di sekolah tidak akan berimbas besar bagi anak jika ia tidak mendapatkan stimulasi, perhatian dan kasih sayang, disiplin, serta contoh yang baik di rumah. Bagaimana pun, seperti kata seorang ulama yang saya kutip di latar belakang skripsi saya, "Al-ummu madrasatul uulaa." Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Intinya, saya harus kerja keras supaya anak saya bisa sekolah di sekolah yang bagus, meskipun saya tetap nggak mau nyekolahin anak di sekolah yang bener-bener mahal karena khawatir anak saya jadi borjuis dan terbiasa hidup serba mudah. Tapi, meskipun begitu, ada satu hal lagi yang harus saya catet: Saya tetep harus jadi sekolah yang pertama dan utama untuk anak-anak saya nanti. Di sekolah apa pun mereka nanti, harus ada nilai-nilai penting yang mereka pelajari di rumah. Harus ada banyak hal baik yang tertanam pada diri mereka, karena diajarkan oleh dan ditiru dari orang tuanya. Merealisasikannya nggak akan mudah, tapi semoga tulisan ini juga bisa menjadi pengingat untuk saya.

Oh iya, sejauh yang saya tahu, belum ada sekolah yang bener-bener sesuai dengan kriteria sekolah-idaman-untuk-anak-saya yang sudah saya tuliskan di atas. Karenanya, saya jadi punya satu mimpi besar lagi: membuat sekolah impian saya. Tapi nanti ya, kalau saya sudah jadi psikolog terkenal dan sudah punya klinik keluarga dan tumbuh kembang anak yang keren. It's still a long, long, loooong way to go. But everything is possible if Allah allows it, right?

Wednesday, May 15, 2013

Tentang Mereka, Para Pendidik

“In learning you will teach, and in teaching you will learn.” - Phill Collins 
Salah satu hal yang saya syukuri dari pekerjaan saya sekarang adalah besarnya kesempatan untuk terus mempelajari hal baru. Di sekolah ini, meskipun saya menjadi guru, rasanya saya lebih banyak belajar daripada mengajar.

Selain mendapatkan insight dari anak-anak, saya juga banyak belajar dari tim guru di subdepartemen saya, Learning Centre. Selain saya, di LC saat ini terdapat lima orang guru (yep, untuk empat belas anak) beserta satu kepala divisi Special Need (the one that we call 'bu bos'). Dari kami bertujuh, enam di antaranya adalah lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Saya punya satu kebiasaan buruk, yaitu meremehkan orang lain yang berkecimpung di bidang yang dekat dengan psikologi (misalnya parenting, pendidikan, atau training) namun tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang psikologi. Karena hampir semua guru yang bekerja dengan saya juga lulusan psikologi UI, kecongkakan saya jadi berkurang, karena mereka semua pernah mempelajari (hampir semua) hal yang telah saya pelajari. Bedanya, selain teori, mereka juga punya pengalaman yang kaya. Jelas lah, saya jadi anak bawang yang sibuk mendengar dan mengobservasi sambil mengagumi pendapat mereka dan mencatat dalam hati. Guru-guru ini adalah orang-orang yang berhasil menerapkan ilmunya untuk membuat segelintir anak menjadi lebih baik. Mereka bukan hanya mengajarkan materi-materi yang direncanakan dalam IEP (Individualized Education Plan) setiap anak, tapi juga mengajarkan mereka tentang bagaimana bersikap dan berperilaku. Teori tentang modifikasi perilaku yang berulang kali saya pelajari ketika kuliah dulu benar-benar mereka terapkan dengan konsisten, membuat saya terkagum-kagum.

Mereka yang mendidik, bukan hanya mengajar.

Guru-guru ini menjadi salah satu alasan dibalik kemantapan saya untuk menunda kuliah magister, setidaknya selama satu tahun. Saya tahu kalau saya perlu banyak belajar dari mereka, untuk menyeimbangi teori-teori dan berbagai hasil penelitian yang telah jadi makanan harian saya selama tiga setengah tahun belakangan, dan akan tetap menjadi santapan istimewa untuk dua tahun berikutnya. 

Selain melakukan pembelajaran dengan mengobservasi, saya juga kerap diberikan petuah-petuah yang berharga. Karena semuanya tahu kalau saya ingin segera melanjutkan studi untuk kemudian menjadi psikolog, saya sering diingatkan mengenai poin-poin penting yang kerap diabaikan oleh seorang psikolog. Berdasarkan pengalaman mereka, psikolog sekolah yang tidak pernah menjadi guru sebelumnya sering kali memberikan keputusan-keputusan yang kurang realistis. Mereka seringkali terlalu berpaku pada teori yang telah mereka pelajari; seharusnya begini, seharusnya bisa begitu. Biar bagaimana pun, setiap anak berbeda-beda; apalagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. They are wired differently from one another; they all have different strengths, weaknesses, threats, and opportunities. They are different, and therefore different approach is needed. Dengan semangatnya, guru-guru ini memberi tahu saya segala hal yang perlu saya perhatikan jika saya kelak menjadi psikolog. "Tuh, Yas, yang mau jadi psikolog, catet!" menjadi salah satu kalimat kesukaan saya.

Eventhough they all seem perfect, of course they're not. Ada kalanya saya tidak menyetujui tindakan yang mereka lakukan. Ada kalanya nilai-nilai yang mereka miliki berbeda dengan yang saya anut. Ada kalanya teori yang saya yakini berbeda dengan praktik yang dilakukan. Tapi buat saya, ada pembelajaran lain lagi yang saya dapatkan: bagaimana memilah informasi dan pembelajaran; bagaimana menorelansi perbedaan, dan bagaimana mengontrol diri untuk melakukan sesuatu karena pengetahuan, bukan karena kebiasaan. Biar bagaimana pun, mereka telah membuka mata saya bahwa di balik sistem pendidikan Indonesia yang carut-marut, masih ada guru-guru yang mendidik anak muridnya dengan hati. Masih ada guru-guru yang benar-benar peduli dengan muridnya. Masih ada orang-orang yang mementingkan kualitas pendidikan daripada profit yang bisa dihasilkan.

How grateful I am to have a workplace where I can do what I'm passionate about, and still having plentiful things to be learned about. It's like I'm spending another year in another college, learning by observing children, teachers, and parents' behavior, and by applying those prior knowledge that I have been taught in college. 

My life is grand! Thank you for always making it that way, dear Allah :)

Thursday, May 9, 2013

To Be Happy

What's going on in your life?

Me? I am happy. I got a lot of spare time to spend with my family. I even have more than sufficient time to spend with myself. I have best friends who I can share every single detail of my life with. I have a job I'm really passionate about. Every day, I'm surrounded by kids that are so interesting to be learned about, as well as colleagues who are all assertive and willing to teach me new things aplenty. And in spite of the fact that I have to modify my life-plan, I'm on my way to achieve my dream. 

There are times when my life has its downs, though. There are moments when I sob and hate the way some things happen in my life. There are phases when I feel like I should've done more. There are uncertainties, doubts, and apprehensions. 

Even so, I enjoy every single day of my life. I am blessed, and my life is blissful.

I am happy.

I hope you are, too.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...