Sunday, July 26, 2015

Disertasi untuk M.Sc

Di lima hari menjelang deadline untuk pengumpulan draft disertasi (di Inggris istilahnya disertasi meskipun untuk program magister), salah satu adik kelas saya dulu menghubungi saya untuk bertanya-tanya soal proses pembuatan disertasi di sini, berhubung waktu kuliah yang diberikan hanya 1 tahun. Saya jadi sadar deh, saya belum pernah bener-bener cerita tentang pembuatan disertasi ini secara detil ke siapa-siapa. Nggak penting-penting banget sih, but it's kind of a necessity to keep myself sane. Saya cuma bisa diskusi sama teman saya di London (yang sama-sama anak psikologi dan punya concern di riset) - yang hanya saya temui dua kali sejak saya mulai menulis disertasi. Talking to her is always helpful, but it's not like having a friend who can listen to everything that has happened to you over lunch, every day.

Satu hal yang saya sadari ketika hidup di luar negeri adalah, saya jadi milih masalah apa yang mau dicertain ke sahabat-sahabat dan keluarga saya di Indonesia. No one wants to hear me blabbing about which statistical method that I need to use, seriously, so I stopped sharing unless I was asked. Dan teman-teman di UK? I have a few Indonesian friends, but none of them study psychology, so telling them about my research in detail would only bore them, I suppose. Well, di York cuma ada satu teman sejurusan saya yang dekat dengan saya. Kebanyakan teman kelas saya orang Eropa, jadi gaya pertemanannya agak berbeda dan saya susah klopnya. The truth is, selama di sini saya nggak pernah ngerasa jadi diri sendiri kalau lagi sama teman-teman di kelas (kecuali sama si satu teman itu). That's the thing about being a minority kali, ya. Somehow you will feel like you don't fit in, meskipun semua orang baik banget sama saya.

So I'm going to write about my dissertation here. It won't be an interesting read, unless you are into that. Dan karena ini posting curhatan, maaf yah kalau bahasanya akan campur aduk. Ah, another thing about studying abroad - saya ngerasa bahasa Inggris saya gini-gini aja (ada improvement tapi tingkat signifikansinya masih di atas .05 - if you know what I'm saying *wink*), tapi kemampuan menulis dalam Bahasa Indonesia saya menurun drastis.

Karena waktu efektif untuk membuat disertasi hanya sekitar 4 bulan dan data  yang digunakan dalam penelitian psikologi kebanyakan berupa data primer, ada sekitar 10 topik yang harus dipilih oleh mahasiswa di program saya. Satu orang harus memilih tiga topik, lalu kepala program akan memutuskan topik akhir penelitian kami. Saya memilih dua topik tentang adaptasi alat ukur ke Bahasa Indonesia, dan terakhir, satu penelitian intervensi. Alasannya sederhana, saya nggak mau penelitian saya cuma berakhir jadi tugas. I want to at least do something, meskipun cuma bikin alat ukur buat anak-anak (yang nantinya bisa dipake lagi untuk penelitian di Indonesia) atau bantu ngasih intervensi ke anak-anak (yang hasil penelitiannya pun akan lebih nyata dan bisa diaplikasiin).

Saya dapat topik nomor tiga - waktu itu judulnya "piloting a novel maths intervention using Lego". Supervisor saya namanya Sophie, psikolog pendidikan sekaligus peneliti tentang down syndrome dan perkembangan matematika. Saya nggak sendiri, ada 3 orang lain di kelompok saya. Ada satu orang India yang dari TK sudah berbahasa Inggris dan S-1 di York (dan lulus first-class honours - which means she's both smart and hard-working), satu orang Inggris yang paling aktif di kelas (which means she's smart and confident); dan satu orang Inggris lain yang sudah 20 tahun menjadi guru (which mean she's street-smart). Kami berempat harus ngerancang dan ngelakuin penelitian ini bareng-bareng, meskipun analisis data dan penulisan disertasi dilakukan sendiri-sendiri. Saya panik bukan main di meeting pertama saya - minder luar biasa. To keep up with their conversation is challenging, given that English is their first language - apalagi buat aktif berpendapat. Saya jadi kembali jadi Ayas versi beberapa tahun lalu - diam, nggak ngomong kalo nggak ditanya, dan ngangguk-ngangguk doang meskipun ga sependapat, karena takut salah. I was not the best version of myself. I was not even me.

Kami pun berhasil merancang 25 sesi intervensi untuk anak-anak kelas 1 SD dan TK di dua sekolah di York. Ada 3 kelompok partisipan: satu kelompok akan diajarkan melalui Lego, satu kelompok lain diajarkan melalui metode konvensional (verbal maths, lewat soal-soal), dan sisanya jadi kelompok kontrol. Setiap sesi berlangsung selama dua puluh menit. Sebelum dan sesudah intervensi, semua partisipan akan diberikan rangkaian pre-test dan post-test. Proses intervensi dan pengambilan data harus dilakukan setiap hari selama sebelas minggu, meskipun teman-teman saya di kelompok lain ada yang hanya mengambil data lewat kuesioner online.

The tools


I like doing the intervention as it gave me a chance to teach (and play with) cute students who all speak in british accent (sehingga aksen saya juga jadi berubah kalo lagi deket-deket mereka), and I can see the progress throughout the whole session. Like, whatever happen to my dissertation, at least I helped those 6 children. But when it comes to writing.... I feel really unmotivated. Saya nggak ngerasain passion yang dulu saya rasain ketika menulis skripsi - mungkin karena waktu itu saya benar-benar memutuskan topiknya sendiri. Dan karena banyak otak yang ngerancang penelitian ini, susah untuk menjustifikasi hal-hal yang sebenernya kurang saya sepakatin sejak awal. Proses belajarnya jadi agak aneh.

Satu lagi yang saya rasain bedanya: Di sini, bab methods dan result justru yang paling diperhatiin sama supervisor saya. Ketika skripsi dulu, bagian ini justru yang paling cepet saya kerjain karena analisis yang dipake sangat, amat sederhana (ga bener sih tapi ya, saya bahkan nggak uji normalitas dan lain-lain) - mungkin karena ekspektasinya beda, tapi menurut saya juga karena dosen pembimbing saya ketika S1 dulu juga nggak punya perhatian besar dengan statistik (meskipun landasan teori dan analisis di diskusinya jadi kuat).

Ah iya, satu lagi bedanya. Saat S1 dulu, saya berkali-kali mengirimkan draft tulisan ke supervisor untuk di-feedback sampai sesuai dengan apa yang mereka mau. Di sini, saya cuma punya satu kesempatan untuk memperlihatkan disertasi saya dan untuk melakukan revisi sebelum dikumpulkan. Yang jelas saya jadi panik dan ketar-ketir karena nggak ada yang membimbing secara langsung. Nggak ada dosen statistik yang bisa saya cegat di kanlam juga buat nanya-nanya. What if everything I've done is completely wrong?

Dan yang jelas, saya jadi yakin banget kalo saya belum siap buat PhD (meskipun masih pengen, someday). Ilmunya belum siap, mentalnya apa lagi. Nggak kebayang sih ngelakuin satu riset sampai tiga tahun, cuma disupervisi secara umum, dan harus bikin deadline sendiri. Nggak kebayang juga harus hidup sendiri dan jauh dari keluarga sampai bertahun-tahun. I won't survive that, not now

Well, meskipun penuh liku dan drama, perjuangan bikin tesis ini akan selalu jadi pengalaman berharga buat saya. Capeknya, paniknya, pusingnya, marahnya. Semales apapun saya buat mulai menulis hari ini (sehingga saya malah nulis blog), saya akan kangen masa-masa bikin tesis - masa-masa dimana kognisi saya selalu diuji. 

Saat skripsi dulu, dari awal saya menargetkan diri saya untuk dapat nilai A. Sekarang, boro-boro, yang penting lulus dan nggak malu-maluin banget. Yang penting saya banyak belajar dan ilmu saya bisa berkembang (dan nantinya bisa bermanfaat). Jadi, doain supaya lancar dan nggak malu-maluin yah.

Doain juga supaya self-efficacy saya bisa kembali naik, ya.




LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...