Wednesday, July 2, 2014

Tentang Memilih Presiden

Saya sudah dekat dengan politik sejak masih balita. Iya, di partai yang kadernya suka bawa anak saat kampanye atau long-march itu :) Meskipun demikian, kedua orang tua saya, yang hingga saat ini masih aktif sebagai kader di partai itu, cukup terbuka dan menerima pendapat anak-anaknya yang mulai kritis. Diskusi-diskusi mengenai politik juga sebenarnya sudah sering terjadi sejak saya dan adik-adik saya masih duduk di bangku sekolah. It has been one of our dinner topic. Adik saya yang masih SD aja bahkan sekarang udah bisa diajak ngomongin politik, meskipun kacamatanya masih sempit. Saya sih mikirnya gini, kalaupun saya akhirnya memilih partai dan/atau calon presiden yang sama dengan orang tua saya, saya maunya itu terjadi karena pilihan saya, bukan karena saya ikut-ikutan. Kalaupun pilihannya berbeda, saya juga maunya itu terjadi karena saya punya alasan yang kuat, bukan cuma karena nggak suka sama pilihan orang tua. Selain itu, saya juga senang berdiskusi dengan orang tua saya untuk membuka pikiran mereka, karena saat ini kami memiliki lingkungan pertemanan yang cukup berbeda.

Menentukan pilihan presiden buat saya bukanlah perkara mudah. Pasalnya, nilai-nilai yang saya anut nampaknya hanya bisa terfasilitasi oleh salah satu pihak. Saya suka pemimpin yang pinter bicara dan bisa mempresentasikan dirinya dengan baik, tapi saya juga mau yang track record-nya baik. Dan yang paling bikin galau, saya butuh presiden (beserta tim suksesnya) yang punya concern lebih terhadap pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia, tapi saya juga nggak mau kalau ada orang-orang yang pluralis dan liberalis menjabat bidang-bidang strategis (kalau salah satu calon terpilih). Setiap pasangan capres memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, yang menurut saya cukup berimbang. Tergantung nilai apa yang dianut oleh pendukungnya. Tergantung yang mana yang dianggap lebih penting untuk saat ini.




Karenanya, saya kurang suka sama orang-orang yang terlalu fanatik di pilpres ini. Iya tau, ada bener-bener nggak suka sama kandidat yang lain, tapi jangan sampe jadi nggak fair lah. Jangan sampe pas nonton debat jadi tertutup mata-hati-telinganya, sampe yang dimasukin ke pikiran dan yang dibahas cuma jawaban yang bagus aja. Sekalinya lawan salah ngomong dikit, jadi ejekan seminggu. That's unfair. Oke, saya hargai kalau ada orang-orang yang udah nentuin pilihan dari awal dan mau menyuarakan pilihannya itu. That takes a lot of courage, and I appreciate it. Tapi please, please jangan sampai terlalu buta dalam membela orang lain. Nggak ada orang yang sempurna, not even the president-to-be that you adore. Jangan terlalu sotoy juga dalam mengumbar kekurangan lawan, kalau ternyata memang nggak tau dari kedua sisi. Never judge a person before you know the whole story.

Tapi, kalau dipikir-pikir, terlalu kritis dan banyak pertimbangan juga kadang nggak bagus. Ya gini, kayak saya, butuh berminggu-minggu sampai akhirnya menetapkan pilihan. Ini juga belum yakin 100%, karena kalau nunggu yakin ya nggak akan punya sikap. Penyakit anak psikologi sih ini kayaknya: Terlalu banyak mau, terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak mikir di tengah karena prinsipnya semua hal itu relatif - pake prinsip "ya tergantung" - tergantung dilihat dari sisi mana, tergantung kondisi, tergantung nilai. Sampai akhirnya suka kesulitan sendiri dalam menentukan pilihan. Eh, apa saya aja ya yang kayak gitu? Haha.

Fenomena pilpres ini buat saya menarik banget karena saya bener-bener bisa ngeliat bukti nyata bahwa satu hal yang sama, bahkan satu kalimat yang sama, bisa diinterpretasi berbeda oleh orang-orang yang memandangnya dari perspektif yang berbeda. Dan bahwa benar memang, haters will hate and lovers will love. Banyak banget orang yang milih Jokowi karena cinta mati sama Jokowi dari awal, atau yang milih Prabowo karena benci setengah mati sama Jokowi yang dianggap terlalu "cari muka" dari awal - dan sebaliknya. Nggak peduli deh kalau kandidat yang lain tiba-tiba ngasih jawaban yang bagus, atau kalau kandidat yang didukung tiba-tiba ngasih jawaban yang nggak masuk akal; pokoknya cinta sama si A dan benci sama si B. Saya sih seneng banget sama para pendukung yang masih terbuka dan masih bisa menuliskan kekurangan kandidat pilihannya, atau menuliskan kelebihan pasangan lawan, di blog dan jejaring sosial. It takes even more courage to do that, to see things from the opposite point of view.

Apapun pilihannya, yuk lebih bijak dan lebih menerima pilihan orang lain yang berbeda. Some people choose religion over personal quality; some people choose humbleness; some people choose ingenuity; some people choose track record; and that's fine. Nggak ada yang salah atau bener kok, cuma masalah preferensi pribadi dan perbedaan nilai aja.

Bismillah, semoga kandidat yang terpilih nanti, siapapun itu, bisa memberikan kontribusi nyata untuk memperbaiki kualitas bangsa ini ya!

No comments:

Post a Comment