Sunday, August 25, 2013

Frankly Speaking

"Lo mah enak ya Yas, tinggal minta jodohin sama nyokap."

"Ya gue kan pengennya juga yang nggak se-kayak-lo gitu Yas, ketinggian juga."

Frankly, I have doubts too. I have apprehension that things won't go as I planned. That I will end up doing something I always said I will never do. That I am just not good enough for those who I perceive as good enough for me. That I have unattainable expectations.

I have questions, too. The "what ifs" one. The "why is my life so easy - was He planned something all along" one. The "am doing the right thing" one.

Because, really, who knows if I'm just being too naive. I have faith that I'm doing the right thing so He will grant me my desires, but who knows?

"Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah."

That's actually all I can say right now.

However, as my belief always keeps me going, I still believe that I will always get astounding things because no one knows me better than Him. That, in this case, someday I will meet someone I've been praying for. Not now, but in the right time.

Hopefully i'm still realistic and not being too naive.

Don't lose your faith just yet.


Friday, August 23, 2013

About Being A Special Education Teacher

It's tiring - exhausting. It requires a lot of patience. It demands creativity and flexibility. It somehow gets you confused, because it turns out that teaching four kids with different strengths and weaknesses are arduous. 

It's bewildering, because the strategy that works on the theory you learned might not work on some kids. It pretty much drains thought and energy.

Yet seeing that look on their face, listening something popped out of their mind, and spotting them doing something unpredictable, those are satisfying.

And seeing them progress and be better each day is priceless. It is worth every drops of sweat.

Saturday, August 17, 2013

Just A Prattle

"Pick up three words to explain yourself!"
"Er.... Extroverted...."
"Really? I mean, I can't really see it right now."

That was a conversation between me and someone who interviewed me for a job, who later became my boss. At that moment, I realized that I don't even know three words to describe myself - and that I'm not even sure that I am an extrovert. That's just what those tests told me - the popular psychology tests I took during high school, when I know nothing about psychology yet. 

So, am I?

At this point, I realize that I do enjoy being in solitude, as well as spending hours to talk and laugh with friends. I love meeting new friends, but at the same time, I also find it intimidating. My coping strategy is both sharing my problems to my friends or family and having a me time. But do I enjoy being in crowd or in a party? Not as much as I do when I locked myself in my own room, frankly.

A few years ago, I took a test that analyzed my personality based on my handwriting. Again, back then I know nothing about psychology, let alone about validity and reliability in psychological testing, so I can't really say whether it's trustworthy or not. I was pretty satisfied with the result, though. It said that I am an ambivert - somewhere in the middle of extrovert and introvert. Learning in college that extroversion and introversion is a continuum - not a category, and knowing that every good test should distribute normally in a bell curve (meaning that most of the people took the test are in the middle), I think I might be in the middle of the continuum; an ambivert. From those tests that are based on Galen's theory of personality, I also found out that I am both sanguine and phlegmatic (they balance out each other).

I know it's silly, but I've been thinking a lot about it because it's bugging me lately. Being away from school (where I can meet a lot of people my age everyday), I only have regular meeting with friends I feel really close with. It even comes to a moment when my mom asked who am I going to hang out with, and all I have to say is "Of course you know with whom. Who else?" At that moment, I realized that I don't have a lot of friends. I don't even have a best friend I've known for more than ten years. I mean, I used to be best friends with them, but eventually time separates us. I'm not good with making a long-distance relationship with my friends, so I ended up being really close with those who I can meet every day.

Sometimes, I despise myself for that. It happens a lot when most of my friends posted on Path about their meeting with their best friends from primary school, or anything like that. I do enjoy being in a reunion, but I would prefer a long, warm, talk - and I don't think that it's something that I can do with my old friends, except one or two who still contacted me sometimes to share their problems.

But when I meet those best friends I met in college, I know that quality beats quantity. Having a few best friends who are all mature, intelligent, and good partners to discuss with is a blessing that not everyone could have. Having a few best friends who I can tell every detail of my life with is enough.

Anyways, I think I started to prattle again. As I said, it's just bothering me lately and writing helps me think rationally. And if anyone's reading, if we used to be so close but we're now acting like strangers, it's probably not you. Perhaps it's me. Let's sit and talk, and let's see if we can start over again.

And for those who I still take as my significant others, thank you for being in my life, and thank you for staying.

Monday, August 5, 2013

Tentang Itikaf

Itikaf adalah ibadah favorit saya di Bulan Ramadhan. Saya yang sok sibuk ini suka ngedahuluin urusan dunia daripada urusan akhirat, and so it feels really nice to get away from the worldly things for a night, and focusing to make the soul well-fed instead. Kalau sedang itikaf, saya nggak megang laptop dan jarang sekali megang handphone - sehingga saya yang udah kecanduan teknologi ini jadi 'dipaksa' untuk terus tilawah atau melakukan kegiatan-kegiatan lain yang mungkin tidak saya lakukan secara intens di hari-hari lain.

Tempat favorit keluarga saya untuk beritikaf adalah Masjid Agung Sunda Kelapa, mostly karena ceramah yang (biasanya) berbobot dan suara imam-imamnya yang luar biasa merdu dan bikin hati bergetar - di samping karena ruangannya yang ber-AC, sehingga nyaman untuk ditempati berjam-jam. Tapi, karena beberapa tahun belakangan Sunda Kelapa dipenuhi lebih dari 5000 jamaah setiap malam ganjil di sepuluh hari terakhir ramadhan, kenyamanannya jadi berkurang. Namun karena kami belum nemuin alternatif masjid yang sama nyamannya (dari segi imam, pemateri, aktivitas, dan kenyamanan lokasi), kami memutuskan untuk tetap pergi ke sana tahun ini.

Menurut saya, itikaf itu bisa mengobati rindu akan baitullah, karena suasananya yang nggak jauh berbeda dengan suasana di Mekkah dan Madinah. Ketika itikaf, saya bisa menemui suasana yang jaraaaaaang sekali bisa ditemui di Jakarta: Masjid penuh sesak, antrian wudhu panjang luar biasa, kebanyakan orang sibuk tilawah, semuanya langsung cepat-cepat wudhu dan shalat sunnah ketika mendengar azan, shalat berdempetan karena jamaah yang datang melebihi jumlah tempat tersedia, dan lain-lain. Suasana seperti itu menurut saya ngangenin dan bikin ibadah jadi semangat, because let's face it, lingkungan akan selalu memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku kita.

Untuk orang yang kualitas ibadahnya masih jauh dari sempurna seperti saya, itikaf merupakan momen yang tepat untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah. Di Masjid Sunda Kelapa, saat kegiatan Qiyyamul Lail, lampu-lampu dimatikan, dan lantunan suara imam menjadi lebih lambat dibandingan dengan ketika waktu shalat lainnya. Buat saya, ini sangat menyenangkan, karena suasananya sangat mendukung untuk curhat sama Allah dan banyak meminta. Momen yang pas untuk melakukan kontemplasi - meskipun tanpa diiringi narasi, selain lantunan ayat suci al-Quran.

Intinya, itikaf adalah salah satu ibadah yang sangat menyenangkan untuk dilakukan, dan sangat efektif untuk mengejar ketertinggalan ibadah, karena ibadah saat itikaf sehari saja bagi saya bisa berkali-kali lebih baik daripada ibadah yang dilakukan di hari-hari lain, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Sayangnya, belum banyak orang yang ngeh hal itu. Belum banyak orang yang ngeh pentingnya bermalam di masjid saat hari-hari terakhir Ramadhan, agar bisa terstimulasi untuk lebih banyak beribadah. Saya sedih melihat kebanyakan jamaah justru malah ibu-ibu berusia di atas lima puluh tahun, yang untuk shalat sambil berdiri atau duduk di lantai saja sudah sulit. Ke mana generasi saya yang katanya berada di usia produktif? Lalu saya makin sedih saat melihat timeline dan mendapati beberapa orang masih pergi ke bar dan semacamnya - di malam ke-27 di bulan Ramadhan! Bukannya sok soleh dan bermaksud menggurui, tapi miris sekali rasanya melihat kesempatan besar-sebesar-besarnya yang hanya datang beberapa hari dalam sehari tidak dimanfaatkan dengan baik. Entah karena tidak tahu, atau tidak mau tahu.

Lagi-lagi saya merasa sangat bersyukur, karena tumbuh di keluarga yang sangat mementingkan nilai religiusitas. Saya dibesarkan di keluarga yang sudah membiasakan saya untuk itikaf sejak masih SD. Lagi-lagi, saya harus mengakui, mungkin saja saya juga nggak kenal itikaf kalau saya lahir dari orang tua yang berbeda. Tapi, kita yang sudah dewasa mestinya juga bisa membuat kebiasaan baru, bahkan mengajak orang tua kita untuk mengikuti kebiasaan baru yang sangat baik untuk diikuti.

Percayalah, itikaf itu menyenangkan. Berada dekat sekali dengan Allah dan punya berjam-jam waktu mustajab sehingga bisa curhat dan meminta sebanyak-banyak-banyaknya itu luar biasa untuk orang yang banyak mau seperti saya. Karena kalau bukan kepada Allah, kepada siapa lagi dong kita bisa meminta bantuan untuk meraih sesuatu yang di luar jangkauan kita? Berada dekat dengan orang-orang yang begitu dekat dengan Allah juga luar biasa menenangkannya. It really is a good food for the soul. Beneran deh, ada kebahagiaan yang nggak bisa dijelaskan ketika selesai itikaf. Kebahagiaan yang mungkin bisa dicapai orang-orang kalau salat sendiri di rumah, tapi sayangnya biasanya sulit saya rasakan jika tidak di suasana yang tepat - mungkin karena tingkatan keimanan saya yang juga masih belum tinggi.

Tulisan ini saya buat karena rasa gemas yang makin menjadi-jadi. Syukur-syukur kalau ada yang baca, apalagi kalau nanti ada yang tergerak hatinya untuk belajar itikaf. Ramadhan bukan hanya tentang buka puasa bersama yang berujung pada obrolan ngalor-ngidul sampai malam hari. Ramadhan bukan hanya tentang sahur on the road yang entah dijalankan atas dalil apa. Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan sibuk memikirkan 'nanti buka pakai apa'. Ramadhan bukan hanya tentang bersenang-senang menanti lebaran tiba, itu pun karena THR dan liburan, atau jalanan Jakarta yang jadi lengang. Ramadhan bukan hanya tentang itu. Ramadhan itu adalah kesempatan yang diberikan Allah untuk kita, untuk mengembalikan kita ke jalan yang lurus, setelah 11 bulan terlarut dalam urusan dunia. Ramadhan adalah kesempatan untuk meminta maaf, mencoba lagi, dan menjadi pribadi yang lebih baik dalam segala hal yang baik. Ramadhan adalah kesempatan untuk meminta banyak hal yang kita inginkan, karena apapun yang kita minta pasti dikabulkan - saya sudah mengalaminya sendiri sejak kecil. Ramadhan adalah kesempatan untuk menabung kebaikan sebanyak-banyaknya. Dan dengan beritikaf, insya Allah ada banyak kebaikan dan keutamaan yang bisa didapatkan sekaligus.

Secara fisik, itikaf itu melelahkan memang, apalagi kalau masjidnya penuh sehingga jadi kurang nyaman atau kalau agenda di masjid padat, sehingga tidak ada waktu untuk tidur sama sekali. Tapi, sesuatu tentu tidak akan menjadi istimewa jika tidak harus diperjuangkan untuk mendapatkannya.

Apa artinya satu malam, dibandingkan kenikmatan yang diberikan Allah selama 365 hari?
Apa artinya waktu tidur yang berkurang, dibandingkan dengan rezeki yang telah Allah lipat gandakan untuk kita?

Yuk mulai itikaf! :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...