Showing posts with label One Time Experience(s). Show all posts
Showing posts with label One Time Experience(s). Show all posts

Wednesday, May 21, 2014

Tentang LPDP PK 12

Seminggu kemarin, saya mengikuti Program Kepemimpinan angkatan 12 sebagai seleksi terakhir untuk mendapatkan beasiswa LPDP. Capek, kurang tidur, tapi senang dan puas, adalah kata-kata yang mungkin bisa menggambarkan satu minggu kemarin.





Sebelum PK dimulai, kami telah mendapatkan 11 tugas untuk dikerjakan selama 5 hari. Tugas tersebut kebanyakan berupa tugas kelompok dan angkatan. Penyelesaiannya menjadi sangat menantang karena tugas yang diberikan banyak, waktu per tugas hanya sekitar 1-2 hari, peserta hanya berhubungan melalui dunia maya dan belum pernah bertatap muka, serta kebanyakan peserta memiliki tanggung jawab lain di pekerjaannya, sehingga waktu luang yang tersedia sangat minim. Tapi kami semua tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik, meskipun mungkin hasilnya masih belum begitu baik.

Setelah melewati pra-PK, akhirnya saya bisa bertemu dengan teman-teman satu angkatan saya: 108 orang yang inspiratif dan punya mimpi besar untuk Indonesia. Ada yang ingin jadi presiden, gubernur BI, menteri keuangan, menteri pendidikan, dan lainnya. Dengan semangat tinggi, kami semua mengikuti 7 hari pelatihan dengan terkantuk-kantuk karena rata-rata waktu tidur kami hanya satu jam per hari. Bayangkan!

Selain pelatihan di ruangan, kami juga menghabiskan satu hari di markas TNI-AU di Halim. Kami berlatih baris-berbaris, makan di bawah 5 menit, mengerjakan shalat dan mandi dengan serba cepat, dan lainnya. Intinya, fisik kami yang diuji, padahal sebelumnya kami belum tidur sama sekali. Di sini lah saya belajar untuk mengikuti instruksi tanpa banyak memberikan pertanyaan dan melakukan negosiasi. Saya juga belajar untuk menempa fisik sampai batas maksimalnya.


Di markas TNI-AU, setelah outbound dan latihan baris-berbaris

Program ini bukan tanpa kekurangan. In fact, saya bisa menyebutkan banyak sekali kekurangan dan hal yang tidak semestinya diberikan. Tapi tentu saya nggak akan menyebutkannya di sini karena saya sudah berjanji untuk menjaga nama baik LPDP. However, dibalik semua kekurangan yang ada, tentu ada pelajaran yang bisa dipetik: Melalui pelatihan ini, saya belajar untuk benar-benar mendorong diri saya sampai ke batasnya. You never know how far you can go until you have no choice but to keep going. Saya pesimis banget bisa tidur di bawah 5 jam sehari. Saya tahu banget hasil riset yang membuktikan manfaat tidur untuk otak dan tubuh kita. Tapi ternyata, saya masih sehat meskipun waktu tidurnya sangat minim, dan meskipun berkali-kali ketiduran selama 1-2 detik saat sesi berlangsung.

Oh iya, ini teman-teman sekelompok saya yang hebat-hebat: 13 orang yang luar biasa, yang memiliki banyak ide dari latar belakang ilmu yang beragam. Ada yang dosen, ada yang jurnalis, ada yang peneliti, ada yang jago IT dan ekonomi, dan lain-lain. Dari mereka dan teman-teman seangkatan yang lain, saya belajar untuk tidak takut memiliki mimpi yang beaar untuk saya dan Indonesia, karena saya tidak bermimpi sendirian. 


Ini dia kelompok Integritas: Momo, Jimmy, Arya, Adiza, Jusuf, Dikky, Pingkan, Firman, Ninda, Rizka, Rory, Ayas, dan Bram

Expertise yang sangat beragam, ditambah dengan hasil observasi pribadi yang menunjukkan bahwa 9 orang dari kami (termasuk saya) adalah orang yang cukup vokal, membuat proses diskusi terjadi dengan terlalu seru dan kadang tidak efektif, karena semuanya berpikir dari sudut pandang yang berbeda-beda dan sama-sama ingin didengarkan dan diikuti. Untungnya, pada akhirnya kami bisa berlapang dada dan menerima ide terbaik.

Buat saya, kelompok ini adalah kelompok dengan dinamika kerja yang sangat menarik. But at the end, we did a pretty good job: Juara dua penampilan apresiasi budaya, juara satu outbound games, dan juara dua baris-berbaris.


Salah satu tugas PK: Menampilkan budaya Indonesia di depan jajaran direksi LPDP.

Kelompok saya pun memutuskan untuk tetap mengerjakan tugas pasca-PK berupa SCC (Social Creative Contribution) bersama (meskipun ada 3 anggota kelompok yang tidak bisa ikut). Kami mengunjungi sebuah yayasan dhuafa dan yatim piatu di daerah Bogor, bersama-sama berusaha menumbuhkan semangat berprestasi dan berkontribusi bagi para volunteer di yayasan tersebut. Dari sesi itu lah saya tahu, banyak teman-teman saya yang harus melewati jalan penuh liku untuk bisa sampai ke posisi saat ini. Lagi-lagi saya banyak bersyukur karena jalan hidup saya alhamdulillah lempeng-lempeng aja. Selepas acara ini, saya makin bangga karena bisa mengenal orang-orang hebat yang mungkin akan memegang andil besar bagi masa depan Indonesia.







See you in another continent, dear friends!




Saturday, March 12, 2011

Orang Baik?

Hari ini handphone saya nyaris dicuri orang. Nyaris maksudnya adalah udah diambil tapi saya ambil lagi. Jadi gini, saya punya kebiasaan buruk sejak SMA: mainin handphone di kendaraan umum. Sebenernya saya nggak pernah nganggep itu buruk sih - sampe kemudian ada kejadian ini. Pas SMA saya malah sering banget ketiduran di angkot sambil dengerin lagu, dengan handphone di pangkuan saya. Jadi gini, saya punya prinsip yang konyol: saya percaya semua orang itu baik.

Mungkin kepercayaan saya itu timbul gara-gara saya nggak pernah ketemu orang jahat. Buktinya, selama dua tahun bolak balik rumah-SMA-rumah, handphone saya nggak pernah diambil orang. Yang ada malah saya dibangunin sama penumpang lain. "Dimasukin ke tas dulu dek, hapenya, kalo emang mau tidur. Capek ya abis sekolah?", gitu paling kata mereka. Bener kan, semua orang yang pernah seangkot sama saya itu orang baik.


Hari ini, seperti biasa saya naik kereta ke kampus. Nggak biasanya sih saya serajin ini, ke kampus hari Sabtu. Hari ini saya ke kampus karena mau wawancara buat tugas psikologi entrepreneurial (saya, Merina, dan Ratih akhirnya wawancara pemilik Es Pocong). Di kereta, seperti biasa saya dengerin lagu biar nggak bosen. Saya lupa nge-charge iPod, jadi saya dengerin lagu lewat handphone. Keretanya lumayan penuh dan saya nggak kebagian tempat duduk. Bodohnya saya, udah tau kereta penuh dan nggak duduk, handphonenya nggak saya masukin ke jeans - tapi malah dimasukin ke semacam kantong di belakang tas yang nggak ada resleting atau pengaitnya sama sekali. Sama sekali.

Di sebelah saya ada mas-mas berbaju coklat yang dua-tiga kali ngelirik ke arah saya. Lagi-lagi karena menurut saya semua orang itu baik, saya nggak curiga sama sekali. Tiba-tiba orang itu pergi dan.... lagu yang lagi saya denger berhenti! Bingung, saya telusurin kabel headsetnya, dan... handphone saya udah nggak ada!

Untungnya, kereta lumayan penuh dan lagi ada yang jualan minum - ya, yang pake dorongan gitu - jadi si mas-mas berbaju coklat itu ketahan dan belum pergi terlalu jauh. Refleks, saya tepok tangannya lumayan kenceng dan saya panggil dengan nada tinggi, "Mas!". "Handphone!!!" kata saya dengan nada lebih tinggi setelah si mas-mas itu nengok ke arah saya. Dia masang tampang sok nggak ngerti apa-apa, tapi untungnya handphone saya masih dia pegang, jadi saya punya barang bukti. "Itu, handphone-nya!!!!!!" kata saya lagi. Nih ya, percaya atau enggak, saya nggak bisa marah ke orang lain selain keluarga inti saya. Mau diapain kek, saya nggak akan marah. Kesel iya, tapi nggak akan bisa ngekspresiin marah; baik dengan teriak-teriak maupun diem. Tapi tadi, saya ngerasa saya galak banget. Yang saya lakuin tadi spontan banget, karena kalau logika saya masih jalan, saya pasti milih untuk diam. Iyalah, kalo si masnya bawa pisau atau apapun gimana coba kan?

Setelah saya panggil dan saya kasih muka jutek, mas-masnya keliatan panik. Dia kemudian ngebalikin handphone saya, terus saya biarin pergi.

"Kenapa lo nggak teriak maling, sih?" kata Ratih.
"Kenapa nggak teriak maling, biar dia digebukin dan dibawa ke kantor polisi?" kata Awwaab.

Sejujurnya, saya nggak kepikiran untuk teriak 'maling!'. Dan sejujurnya, saya bersyukur nggak teriak. Biarin deh Allah yang ngebales apa yang dia lakuin. Lagian toh handphone saya nggak jadi diambil. Lagian, intuisi saya bilang kalo orang ini nggak biasa nyuri. Makanya dia nggak langsung masukin handphone saya ke kantongnya. Kalo iya begitu, kasian dong baru pertama kali niat nyuri malah dipenjara. Dapet barangnya enggak, digebukin iya, dipenjara iya. (Tapi terus Awwaab bilang, 'lah ngapain kasian? salah sendiri nyuri barang orang.') Toh kejadian ini bukan sepenuhnya salah dia. Saya juga salah, karena nggak bisa jaga barang.

Saya bersyukur banget karena sadar lagunya berhenti. Bersyukur banget karena ada penjual minum lewat. Bersyukur banget karena si calon pencuri masih megang handphone saya - bukannya dimasukin ke kantong atau apa. Bersyukur banget karena si calon pencuri dengan baik hati ngebalikin handphone saya - bukannya malah lari atau ngeluarin senjata atau apa. Bersyukur banget karena handphone saya nggak jadi ilang, karena...... bisa apa saya kalo nggak ada handphone dan laptop di saat bersamaan? (laptop saya lagi diservis gara-gara engselnya patah, in case you're wondering).

Pelajaran buat saya: (1) Jangan pernah naro handphone di tempat strategis yang nggak ada resleting atau pengait dalam bentuk apapun, apalagi kalau nggak lagi denger lagu. Lebih baik taro handphone di kantong celana, biar kalau ada yang ngambil kita bisa ngerasain. (2) Jangan terlalu berbaik sangka sama orang lain, apalagi orang-orang yang duduk/berdiri di deket kita.

Kalau saya inget-inget kejadian tadi, instead of feeling scared, I feel cool! Kapan lagi bisa pasang muka jutek ke orang lain? :P

Saturday, March 5, 2011

Hey Mr. Sondre

Remember when I wrote that I really, really want to see Sondre on stage and capture him with my own camera?

Well, it finally happened last night.


Saya dan teman-teman kuliah saya pergi ke Java Jazz Festival 2011. Nggak tau deh Jakarta lagi kenapa, tapi kemarin macet dimana-mana. Kami berangkat jam tiga sore dari Depok, dan... coba tebak sampe Kemayoran jam berapa? Hampir jam delapan malam! Tapi perjalanan nggak kerasa membosankan karena saya punya teman-teman menyenangkan ini:




(Ekki, Ryan, Pravitasari, Anis, dan saya.)


We took some pictures, shared some jokes, mocked each other, sang some songs, and confessed some (silly and stupid) things we've done. We took the five hours we spent as our very first team building. Metpenstat team building of course, because those four are also my metpenstat mates. Too bad Posma wasn't in the same car, because he went there with his girlfriend (but we met up later).

After having fun in the car for almost five hours, we finally arrived. Kami rencananya mau nonton Dira Sugandi, Indro Hardjodikoro, Glenn Fredly, dan Marcell, tapi sayangnya kami datengnya terlalu malem. Gara-gara Jakarta yang macetnya minta ampun.

Belum selesai cobaannya. Ada kejadian yang cukup bikin kami semua kesel. Tiket saya dan Ekki dibilang duplikat. Maksudnya, udah ada yang masuk dengan nomer tiket yang sama, 20 menit sebelum kami datang. Nggak tau deh yang salah yang jual tiket atau emang ada orang jahat yang nge-hack sistem tiketnya. Saya sama Ekki panik. Iyalah, udah berjam-jam di mobil terus nggak bisa masuk, gitu? Mana kalo beli di ticket box harganya jadi lima ratus ribu-an. Tapi kemudian Ratih bilang kalo dia mau bantu patungan. Yang lain juga bilang begitu, bikin saya jadi terharu. Akhirnya saya dan Ekki beli tiket di calo (dan surprisingly bisa ditawar jadi seratus lima puluh ribu!), dengan duit patungan.


Begitu (akhirnya) masuk, Marcell lagi nyanyiin lagu terakhirnya. Sedih sih kok udah abis aja, tapi nggak apa-apa karena performa terakhirnya bagus banget (bagus disini adalah karena semua orang bisa nyanyi). Terus kami ke C2 Hall deh, buat liat dia. Buat liat Sondre Lerche. Saya nunggu satu jam lebih sama Anis, Ratih, Posma dan ceweknya, dan Kak Saski - supaya bisa dapet tempat duduk di depan.


Meskipun perjuangan saya ke Java Jazz kemarin melelahkan, semuanya terasa worth it begitu lihat Sondre ke panggung. Begitu denger Sondre metik gitarnya dan nyanyi.


"Down came the sky......."





And he was aaaawesome!!! Suaranya menurut saya lebih jernih daripada di rekaman. Dia juga komunikatif sekali. Dia humoris dan tau banget gimana cara bikin fansnya meleleh.
"It's gonna be just me and you", gitu katanya, karena dia bener-bener cuma main sendirian dengan dua gitar yang dipake bergantian.





I totally enjoyed the performance. He was only wearing white v-neck shirt and black jeans. I think he's the only person who wears v-neck and doesn't look gay at all. Instead, he looked simple and charming at the same time. He sang a lot of songs, and the best part is, I know all of them. It felt so good to sing some songs that your friends don't know. Though it also felt good to sing 'Two Way Monologue' with almost every person there (cause who don't know Two Way Monologue?). Anis and Ratih also enjoyed his performance, though they were a bit disappointed because he didn't sing 'The More I See You' and 'Heartbeat Radio'. But I didn't at all, though I was expecting he would sing some songs from 'Duper Sessions' because I thought he would sing his jazziest tracks (although he said 'I'm not even a jazz!'), because it's Java Jazz. But he didn't. But I'm not so upset because he sang 'Hell No' solo, for the first time. He said it's because we (the audience) knew all of his song. "I never play this song alone, so I need your help", he said. So we sang Regina's part. It's like Sondre sings a duet with all of his fans.

At the end of the song, he said, "Do not tell anyone, but I think you guys sing better than Regina Spektor. Please don't tell her cause she's gonna kill me."
Well, he had successfully made me melt. It was so good to see you, Mr. Sondre! Please come back soon to Indonesia. Please please pleaaaase, pretty please!






After his performance, I saw Corinne Bailey Rae's performance. She did well, but she cannot beat Sondre. The stage is a lot bigger than Sondre, cause she's more famous and got a lot more fans.

I stood too far from stage, so this is all I got:



She has a beautiful voice. Plus, her bass player - Kenny Higgins - is a person with disabilities, which made us amazed. But we are sooooo upset because she didn't sing 'Paris Night/New York Mornings'.


My friday night was so awesome. Sondre Lerche and my psycho mates made my day.





Thankyou, thankyou! :)

Tuesday, May 4, 2010

Garfinkeling

Breaching Experiment, atau yang lebih populer dengan sebutan 'Garfinkeling', adalah salah satu tugas kuliah yang paling menarik yang pernah gue dapet. Ini yang harus dilakuin: Lakuin sesuatu (apapun!) yang ngelanggar norma/peraturan sosial yang nggak tertulis, dan lihat gimana reaksi orang-orang.

Dari tahun ke tahun, penelitian ini emang jadi sesuatu yang paling ditunggu-tunggu, karena seru dan sangat menyenangkan -- meskipun juga memalukan.

Ada yang ke restoran mahal terus makan pake tangan, ada yang kerokan di mall, ada yang senam di senayan pake baju pesta, ada yang tidur di mall, ada yang bayar belanjaan di mall kelas atas pake recehan, ada yang lomba lari di eskalator, ada yang curhat sama orang nggak dikenal, dan lain-lain.

Gue satu kelompok sama Posma, Ratih, Ume, Niken, Ekki, dan (pastinya; lagi-dan-lagi:) Anis. Jadi lah kita bertujuh berembuk buat nyari ide. Apa ya? Simpel, tapi seru. Dan unik. Apa ya? Terus gue inget deh, ada salah satu senior yang Garfinkeling-nya itu nyuci baju di wastafel di sebuah restoran siap saji. Gue kemudian jadi dapet ide (meskipun udah nggak bisa dibilang kreatif lagi): Keramas di restoran!

Untungnya ide gue disambut dengan saaaangat baik, dan disempurnain supaya jadi makin ciamik. Nggak cuma keramas, kami juga bakalan cuci muka dan sikat gigi di wastafel. Sounds pretty silly, yet fun. Pelakunya tentu si tiga wanita yang ganjennya tiada tara: Ume, Ratih, dan Niken. Anis dari awal udah ngetek buat jadi interviewer, sementara gue ngetek buat jadi sie dokumentasi (eaaa cari aman). Posma juga jadi dokum, dan Ekki akhirnya (terpaksa) jadi interviewer juga.

Jadi lah kami berdelapan (plus Merina, meskipun nggak satu kelas sama kita) pergi ke Citos siang tadi. Sayangnya ini hari kerja, jadi Citos nggak seramai biasanya. Kami milih A&W sebagai tempat kejadian perkara, karena wastafelnya terbuka; jadi orang-orang bisa ngeliat dengan leluasa. Untungnya, manager A&W sangat baik hati dan tidak sombong: ngebolehin kita buat eksperimen di sana (meskipun nggak boleh kalo pas jam makan siang).

Alhamdulillah, eksperimen kami cukup sukses. Umaira, Ratih, dan Niken berhasil bikin satu A&W curi-curi pandang dengan tatapan yang lumayan merendahkan. Ya iyalah, bayangin aja: Ume keramas pake sampo dan sempet-sempetnya jalan-jalan ke sudut ruangan dengan rambut yang penuh sampo; Ratih cuci muka dengan shower cap yang 'ucul beuuuudh' (do I spell it right, Tih?); Niken juga cuci muka dan kemudian gosok gigi - dan sempet-sempetnya nengok ke arah orang-orang sambil manggil nama Ratih dengan kenceng supaya semua orang nengok dan ngeliat mukanya yang masih ketutup sama sabun muka (that was super-hilarious!); dan oh, ini klimaksnya: Setelah keramas, Umaira ngeringin rambutnya pake hand-dryer (atau apalah itu namanya - yang buat ngeringin tangan). Oh, dan semua kegiatan di atas disertai dengan iringan musik yang keluar dari hape-nya Ratih. Super norak 2010.

Sayangnya, reaksi orang-orang yang ada di sana kurang keliatan. Mereka kebanyakan cuma lirik-lirik sedikit. Yang ngakak terus-terusan malah gue. Hm, mungkin karena mereka jaga image juga, takut dibilang freak kalo ngetawain orang yang nggak dikenal. Tapi kebanyakan dari mereka untungnya mau di wawancara. It's obvious: Semuanya ngerasa apa yang dilakuin sama Ume, Ratih, dan Niken itu konyol banget. Keramas, cuci muka, sama sikat gigi kok di restoran. Malah ada yang ngira mereka 'sakit' atau kenapa.

Sayang bangeeeeeet, we don't have any picture of that. Abis ribet sih kalo moto, jadi gue sama Posma cuma ngerekam pake handycam aja (i put it in my bag loh, keren kan sok-sok candid camera gitu wahaha). You gotta see the video(s), it's sooo funny! (But I guess that'd be much funnier if people laughed at them (OUT LOUD) or just simply told them that washing hair / face and brushing teeth at the restaurant isn't right and, of course, freak).

Lucu sih ya kalo dipikir-pikir. Nggak ada peraturan yang bilang kalo keramas di restoran adalah hal yang salah; tapi semua orang seakan-akan terprogram kalo itu salah. Nggak ada peraturan yang bilang kalo senam pake baju pesta, makan pake tangan di restoran mahal, atau curhat dengan total-stranger adalah hal yang salah; tapi semua orang seakan-akan terprogram kalo itu salah.

Eksperimen ini emang kedengerannya simpel dan akan selalu menghasilkan kesimpulan yang sama: ada 'kekuatan besar' yang seolah-olah selalu mengontrol tingkah laku manusia (terutama saat manusia tersebut lagi berperan sebagai anggota masyarakat). Tapi, butuh keberanian yang amat sangat besar buat bisa ngelakuin penelitian ini dengan sukses (YES: Umaira, Ratih, and Niken got guts). Dan lagi pula, Garfinkeling ini saaaangat menyenangkan dan bisa dijadiin ajang katarsis juga :--D

Sebenernya sih Garfinkeling lebih pas buat dikategoriin sebagai penelitian sosiologi daripada penelitian psikologi - secara Harold Garfinkel aja sosiolog, bukan psikolog. Ya tapi semua orang juga pasti setuju kalo sosiologi dan psikologi itu masih punya hubungan darah; jadi ya sah-sah aja dong kalo orang psikologi juga mau tau tentang si Garfinkeling ini. Sah-sah aja dong kalo gue jadi bangga karena gue dapet tugas kuliah yang saaaangat menyenangkan (yang ga akan lo dapet kalo lo kuliah di *garisbawah* kedokteran, teknik, akuntansi, atau jurusan-jurusan lain).

For the n-th time, I feel so thankful that He putted me here. No doubt, psychology is the best place for me ;)


--tambahan
Ekki berbaik hati ngedit videonya supaya jadi lebih lucu dan ngupload ke youtube. So here's the link - you HAVE to watch them!




LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...