Showing posts with label Education. Show all posts
Showing posts with label Education. Show all posts

Friday, July 29, 2016

Tentang Pendidikan dan Politik

Rasanya seperti membaca buku atau menonton film dengan akhir yang twisted. Atau seperti patah hati, malah lebih buruk lagi. Kaget, sedih, kecewa. Bingung.

Memang jika urusannya politik, hati tidak boleh banyak bermain. "Ini sudah biasa," kata orang-orang. "Hak prerogatif," kata sebagian yang lain.

Dalam hati, saya malu sendiri. Entah terlalu polos atau idealis, tapi rasa sedih itu tak bisa disembunyikan. Apa yang sudah dikerjakan bersama selama enam bulan terakhir yang akan jadi taruhan. Terlalu polos kah saya jika sempat percaya bahwa pendidikan kita pelan-pelan akan membaik? Terlalu lugu kah saya jika sempat yakin bahwa apa yang kami kerjakan kemarin benar-benar akan bermanfaat bagi banyak orang? Terlalu naif kah saya jika menitikkan air mata hanya karena memikirkan kelanjutan hal-hal positif yang sudah dilakukan bersama?

Seumur-umur, rasanya saya tak pernah benar-benar peduli dengan reshuffle kabinet. Sampai kejadiannya berlangsung di depan mata saya sendiri. Reshuffle ternyata bukan hanya perihal mengganti satu menteri, tapi juga memecat puluhan orang hebat yang tidak punya salah apa-apa. Soal memutus perjuangan yang baru saja dimulai. Karena merubah pola pikir dan kebiasaan serta menamkan nilai-nilai baru tentu membutuhkan waktu lebih banyak dari dua puluh bulan.

Berat rasanya untuk menerima, tapi toh keputusan sudah diambil. Tidak ada yang bisa dilakukan selain berdoa bahwa hal-hal baik yang telah dirintis bisa berlanjut dan membawa perubahan besar, dan tetap melangkah untuk terus berkontribusi dengan jalan lain yang dikuasai.


Teman bekerja dan berdiskusi serta sumber belajar saya selama enam bulan terakhir.


Pak, terima kasih karena telah mempercayai kami, pemuda-pemudi bau kencur dengan minat dan semangat besar untuk memajukan pendidikan di Indonesia, untuk membantu mengawal isu-isu strategis Mendikbud. Terima kasih karena telah mendengarkan kami dan berdiskusi tanpa peduli dengan lapisan struktural, perbedaan usia, serta pengalaman. Terima kasih karena telah menjadi pribadi yang santun, bijak, hangat, menginspirasi, dan selalu berusaha mengingat nama orang lain meskipun harus dicatat.


Hari pertama berinteraksi dengan Pak Anies. Beliau yang minta berfoto bersama karena tahu kami masih malu-malu.

Terima kasih karena telah menunjukkan kemampuan bicara yang luar biasa, serta memberikan banyak ide dan terobosan yang menarik. Terima kasih karena telah memperjuangkan pendidikan dan tidak mereduksinya menjadi kartu senilai satu juta rupiah per tahun serta sekolah pencetak tenaga kerja. Terima kasih karena telah menunjukkan pentingnya peran keluarga, keterlibatan publik, disiplin positif, kemampuan berpikir kritis dan literasi abad-21, serta remunerasi dan jenjang karir yang sesuai dengan kompetensi dan kinerja. Terima kasih karena telah pelan-pelan mengajak para birokrat untuk berjalan ke arah yang lebih baik, untuk bekerja dengan lebih efektif dan menjadi pemimpin yang egaliter.

Enam bulan ini, saya belajar bahwa Bapak bukanlah sosok sempurna yang luput dari kesalahan, namun manusia yang berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan yang terbaik. Saya percaya Bapak bisa terus menyalakan lilin dimanapun dan menggerakkan semangat jutaan pemuda untuk mulai memikirkan kelanjutan bangsanya.

Tangisan warga Kemdikbud melepas Pak Anies (diambil oleh Ade Chandra)

Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bukan hanya kehilangan seorang Anies Baswedan, tapi juga sebagian besar timnya yang benar-benar peduli dengan kemajuan pendidikan dan mau bekerja keras untuk membuat perubahan.

Seperti kata Bapak, menteri boleh berganti, tapi ikhtiar kita semua untuk mendidik anak bangsa tak boleh terhenti.

Sunday, April 17, 2016

Tentang Kritik dan Mengkritik

Banyak insight yang saya dapatkan selama 6 bulan menjadi konsultan di Kementerian Pendidikan, khususnya selama hampir 3 bulan terakhir, karena saya dan teman-teman membantu menangani isu-isu strategis pendidikan. Salah satu insight penting yang saya pelajari adalah pentingnya berhati-hati dalam mengajukan kritik.

Sure, kritik membantu memberikan tekanan kepada pihak tertentu untuk berubah menjadi lebih baik, apalagi kritik yang disampaikan berulang di media massa. Sayangnya, beberapa kritik yang saya baca belakangan tentang pendidikan cenderung tidak konstruktif dan kadang tidak tepat sasaran. Hal ini akan berdampak negatif, karena opini tersebut dapat mengarahkan sikap dan perilaku masyarakat.

Saya akhirnya juga belajar untuk tidak asal tunjuk ketika ada masalah. Bahwa tidak semua masalah di negeri ini disebabkan oleh Pemerintah. Bahwa Pemerintah sebenarnya juga mengetahui masalah-masalah yang ada dan berjuang keras untuk mencari solusinya, meskipun kadang langkah yang diambil masih kurang tepat atau hanya merefleksikan isomorphic mimicry - meniru best practice di negara lain namun tidak secara menyeluruh (hanya kulitnya saja), sehingga masalah pun tidak berkurang secara signifikan.

Saya pun belajar bahwa, jika suatu saat saya akan memberikan kritik, saya harus menganalisis dulu masalahnya secara obyektif dan mendalam. Siapa saja yang mungkin berperan, apa pokok permasalahannya, dan apa solusi yang paling feasible. Karena satu lagi yang saya pahami setelah menjadi bagian dari Pemerintah: It's not easy to please everyone in the country. Kebijakan dibuat dengan mempertimbangkan banyak hal; bukan hanya masalah idealisme atau purely berdasarkan teori dan hasil penelitian.

Negara kita luasnya bukan main, ragamnya juga. Maka tidak bijak ketika kita terus-terusan membandingkan kualitas pendidikan di Indonesia dengan di Singapura atau Finlandia tanpa mempertimbangkan faktor lain. Karena tahu kah kamu kalau warga negara Singapura banyaknya kurang lebih sama dengan jumlah guru di Indonesia? Tahu kah kamu bahwa sistem desentralisasi di Indonesia menyebabkan banyak aktor kunci berperan dalam menentukan pencapaian pendidikan, selain pemerintah pusat?

Sistem pendidikan kita memang masih jauh dari sempurna. Tapi sebelum berkoar-koar dan menyalahkan para pembuat kebijakan, tidak ada salahnya kan, untuk mempelajari dulu kebijakan apa yang rencananya akan diterapkan dalam beberapa tahun ke depan?

Sistem pendidikan kita memang masih jauh dari sempurna, tapi percaya lah, we're heading there. Kritik tentu tetap boleh ditayangkan, namun dengan tujuan yang baik, untuk mengingatkan para pembuat kebijakan untuk konsisten melakukan perubahan; bukan untuk menaikkan nama pribadi dan menjatuhkan orang lain. Berbaik sangka itu penting, disertai dengan dukungan nyata agar semua rencana baik bisa terlaksana.


(Source: Pinterest)


Karena satu hal lagi yang saya pelajari: Banyak orang yang sibuk mengkritik, tapi hanya sebagian yang benar-benar peduli dan mau membantu.

Friday, May 8, 2015

Sekolah Dasar di Inggris

Sejak dua bulan yang lalu, setiap hari Selasa saya jadi volunteer di salah satu sekolah dasar di York untuk ngajar matematika di kelas dua (usianya setara dengan kelas satu di Indonesia). Meskipun hanya seminggu sekali, saya seneng banget karena bisa dapet kesempatan untuk mengobservasi langsung sistem pendidikan dasar di UK.

Secara garis besar, sekolah tersebut mirip dengan dua sekolah nasional plus di Jakarta yang dulu pernah jadi tempat saya magang dan mengajar. Tata ruangannya mirip (ada karpet besar di depan papan tulis untuk kegiatan mengajar, dan ada kursi dan meja dalam bentuk berkelompok untuk tempat mengerjakan tugas), daftar pelajarannya serupa, cara belajarnya pun banyak samanya (sama-sama memaksimalkan penggunakan alat peraga visual, khususnya untuk pelajaran matematika).


Year 2 di Lord Deramore's Primary School


Ketika pertama kali masuk ke kelas Year 2, saya kaget karena anak-anaknya manis banget. Mereka juga sangat tertib; mereka bahkan baris sebelum masuk kelas setelah istirahat di lapangan sehingga nggak ada yang bertubrukan di koridor. Sebelumnya, saya sudah beberapa kali masuk ke kelas 1-2 di Indonesia, dan kesan yang saya tangkap beda banget. Menurut saya, wajar kalau ada beberapa anak yang sibuk sendiri atau malah asik main di kelas, apalagi kalau kelasnya cukup besar. Tapi di sekolah tempat saya magang ini, ke-28 anak yang ada di kelas anteng banget dengerin gurunya yang lagi ngajar. Gurunya pun santai, nggak perlu teriak, nggak pake marah-marah.

Di kelas, anak-anak ini cukup aktif dan kritis. Jika ada pertanyaan untuk kelas, guru kelas akan meminta anak-anak untuk mengangkat tangan jika mereka tahu jawabannya. Anak yang langsung menjawab sebelum ditunjuk akan diberikan teguran. Setelah satu anak menjawab, guru kelas biasanya bertanya lagi ke satu murid yang lain, "do you think that's correct?" Menurut saya, ini akan melatih anak untuk berani mengeluarkan opini dan menerima kritik, bukan jadi orang yang ikut-ikutan dan asal setuju dengan jawaban orang lain.

Di awal kelas, jika di hari sebelumnya ada tugas yang harus diselesaikan, guru akan memanggil nama beberapa anak dan meminta mereka untuk berdiri. "You all did very well, but I'm really impressed with these students, because they all showed great improvement on their writing." Yang dipuji bukan hanya kemampuannya, tapi usaha dan perkembangannya. Memuji di depan kelas juga menurut saya akan berdampak positif untuk self-esteem anak-anak tersebut, selain sebagai reinforcement agar mereka terus meningkatkan kualitas dari tugas-tugas yang dikerjakan. 

Waktu itu, saya pernah papasan dengan kepala sekolah yang sedang menenangkan murid kelas 6 yang lagi panik sebelum try-out SATs. Dengan bijaknya, kepala sekolah tersebut bilang, "You don't have to worry about it. The test is important, but it won't be the end of the world. You have an amazing brain and you've worked really hard. Your parents are going to be proud of you no matter what. You'll be fine!" Saya langsung berkaca-kaca dengernya. She sounded genuine and kind, and I wish I had more teachers like that. Di sini, nilai bukanlah segala-galanya. Setiap anak punya kelebihan masing-masing yang terkadang nggak bisa tergambar oleh sederet angka.

Ada satu hal lagi yang bikin saya kagum: kepedulian sekolah dan orang tua terhadap asupan gizi para siswa. Di sini, setiap waktu istirahat, kebanyakan anak membawa buah atau sayur dari rumah. Sekolah juga menyediakan pisang, jeruk, tomat, apel, dan/atau wortel untuk para murid untuk istirahat siang, serta susu untuk istirahat pagi. Murid-murid dilarang membawa minuman manis dari rumah (termasuk jus kotak). Saya kagum banget karena anak-anak ini jadi terbiasa untuk mengonsumsi makanan sehat sejak dini. 

Saya tahu kalau saya nggak bisa menggeneralisasi hasil observasi saya di satu sekolah dan menarik kesimpulan kalau pendidikan di Inggris jauh lebih baik daripada di Indonesia. Namun, saya benar-benar kagum dengan sistem pendidikan di sini serta cara guru-guru mendidik murid-muridnya. Saya jadi paham kenapa teman-teman saya di kelas yang lahir dan besar di UK secara umum lebih kritis dan berani berpendapat daripada mahasiswa-mahasiswa asia (termasuk saya). Pendidikan dini, menurut saya, memang sekrusial itu untuk membentuk pola pikir dan cara kerja kita.

Oh, and have I mentioned that the students don't need to pay anything to get a top-notch education? That's actually the best part! Because a high-quality education should be a right for every child, not a privilege. 


Tuesday, October 1, 2013

Jangan Jadi Guru

Jangan jadi guru kalau kamu bermimpi punya tabungan banyak, hidup mewah, dan bisa memenuhi segala kebutuhan tersier. Nyatanya, guru adalah salah satu profesi yang menurut saya underpaid - dibayar di bawah standar. Tapi, soal cukup-nggak-cukup sebenarnya adalah urusan subyektif. It's more about how you spend your money. Meskipun gajinya nggak besar, guru punya banyak waktu luang untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sambilan, yang tentu bisa memberikan penghasilan lebih. Selain itu, biaya gaya hidup guru tentu tidak sebesar biaya gaya hidup mereka yang bekerja di kantor-kantor. Biaya makan siang, biaya gaul, biaya outfit dan perhiasan, dan biaya-biaya lain yang menurut saya sebenarnya tidak esensial, tapi diperlukan untuk bisa 'bertahan hidup' di kantor.

Jangan jadi guru kalau terlalu memikirkan pendapat orang. Nyatanya, meskipun banyak orang yang berpikir kalau mengajar dan mendidik adalah pekerjaan mulia, banyak juga yang menganggap guru sebagai pekerjaan yang sepele. Perkataan macam "Ah, kalau mau jadi guru mah nggak usah kuliah di UI," "Ngapain cum laude kalo ujung-ujungnya cuma jadi guru," serta beberapa perkataan lain, ditambah dengan tatapan mata yang tidak mendukung sudah pernah saya terima dan rasakan. Percaya lah, ilmu kita pasti terpakai seutuhnya ketika mendidik murid. Memang benar, banyak guru yang pendidikannya tidak tinggi. Tapi, guru yang berkualitas tentu memerlukan ilmu pengetahuan dalam mendidik peserta didiknya. Untuk meredam hati, saya punya solusi: cari lah sekolah yang terdapat banyak guru dari almamater yang sama denganmu. Kalau begitu, kamu akan jadi lebih yakin kalau memilih profesi ini adalah sebuah pilihan yang membanggakan, sekaligus merasa bahwa kamu bahkan masih perlu banyak belajar untuk "hanya" menjadi guru. 

Jangan jadi guru kalau mau kerja santai. Nyatanya, kerja jadi guru itu nggak ada istirahatnya. Ketika waktu istirahat saja, saya dan rekan-rekan kerja masih harus mengontrol anak saat makan dan bermain, sambil mencuri-curi waktu untuk menyiapkan bahan ajar. Jangan harap bisa lunch di luar sambil lirik-lirik diskon - jangan harap.

Jangan jadi guru kalau hanya mau kerja sesuai jobdesc. Nyatanya, jadi guru itu butuh keikhlasan, karena banyak hal lain yang harus dikerjakan selain mengajar dan menyiapkan materi. Ada orang tua yang telfonnya harus selalu di angkat dengan antusiasme, yang kedatangannya harus selalu disambut dengan keramahan, dan kekhawatirannya yang meski terkadang berlebihan, harus tetap didengarkan. Ada anak yang juga harus terus diperhatikan bukan hanya dari segi akademisnya saja, tapi juga dari sisi sosial-emosionalnya.

Jangan jadi guru kalau tidak mau terus belajar dan tidak suka tantangan. Nyatanya, ada saja kasus yang harus dihadapi setiap hari, yang bisa saja tidak pernah diajarkan ketika kuliah dulu. Ada saja anak-anak yang menyimpang dari teori. Ada buku-buku yang harus kembali dibaca, strategi-strategi yang harus dipelajari, dan orang-orang yang harus ditanyai.

Jangan jadi guru kalau benci pekerjaan administratif. Nyatanya, menulis rancangan program ajaran dan rapor adalah pekerjaan administratif yang butuh ketelitian dan ketekunan - apalagi kalau keduanya harus ditulis dengan detil dan berbeda untuk setiap anak.

Jadilah guru kalau kamu tekagum-kagum dengan perilaku anak-anak, karena menjadi guru memungkinkanmu untuk melihat ragamnya perkembangan mereka. Menjadi guru bagi anak berkebutuhan khusus bahkan juga membuatmu menyadari hebatnya Tuhan yang menciptakan manusia dengan segala perbedaan dan keunikannya.

Jadilah guru kalau kamu ingin mendapatkan banyak hal untuk memperkaya diri. Belajar mendidik anak, belajar berhadapan dengan orang tua yang tidak terlalu kita sukai, dan lainnya. Mengobservasi keputusan-keputusan yang diambil orang tua terhadap anak, dan mempelajari akibatnya. Belajar sabar, belajar menerima orang lain apa adanya meskipun tetap mendorongnya agar bisa melampaui potensinya, dan belajar konsisten. 

To be frank, menjadi guru memang bukan cita-cita utama saya.  Saya masih tetap ingin menjadi psikolog, dan masih mantap untuk melanjutkan studi tahun depan. Tapi, guru adalah profesi yang saya pilih tahun ini, karena sesuai dengan minat dan kebutuhan saya untuk menggali ilmu dan pengalaman.

If being a teacher ever crossed your mind, go for it. Don't be afraid of all the apprehensions you have, because when you want to do something wholeheartedly and with compassion, God will help you find a way.






Sunday, May 19, 2013

Tentang Sekolah dan Pendidikan

Setelah dulu magang selama satu bulan di Sekolah Cikal dan hampir tiga bulan bekerja di Sekolah Cita Buana, saya menarik satu kesimpulan: Pendidikan yang baik memang mahal, meskipun pendidikan yang mahal juga belum tentu baik.

Dulu, saya mencibir sekolah-sekolah yang terlalu mahal. Sekolah-sekolah berisi anak-anak orang kaya yang sejak kecil terbiasa untuk menjalani hidup dengan cara yang paling mudah. Sekolah-sekolah berisi anak-anak yang orang tuanya memiliki gengsi yang terlalu tinggi, sehingga tidak keberatan merogoh kocek dalam asal anaknya bisa masuk ke sekolah mahal yang terkenal. Sekolah-sekolah yang selalu bikin macet setiap pagi, dan yang lapangan parkirnya selalu dipenuhi mobil-mobil mewah. Sekolah yang nantinya akan membuat anak semakin borjuis.

Sekarang, saya tahu bahwa ada alasan di balik jutaan rupiah yang harus dibayar orang tua setiap bulan. Sekolah yang baik memerlukan sarana dan prasarana yang bisa menunjang pembelajaran (termasuk lahan yang luas agar anak-anak bebas bermain dan mengeksplorasi lingkungannya), guru-guru yang berkualitas (sehingga harus dibayar lebih mahal), serta kurikulum yang terintegrasi dari beberapa negara yang sistem pendidikannya sudah sangat baik. Semua memerlukan biaya yang besar, sehingga biaya bulanan yang harus dibayar orang tua pun pun bisa menjadi lebih besar daripada penghasilan freshgraduate di Jakarta. Sekolah yang baik memang tidak harus mahal, tapi sekolah yang mahal karena sistem pendidikan, pendidik, serta fasilitasnya (bukan karena pengelolanya terlalu mementingkan profit) will be worth every penny. You will definitely get what you paid.

Menurut saya, sekolah (terutama TK dan sekolah dasar) adalah investasi. Bukan hanya investasi dari segi finansial loh ya, tapi investasi dalam "membentuk" anak agar bisa sesuai dengan apa yang kita harapkan. Apa yang ditanamkan di sekolah dan di rumah, jika terinternalisasi dengan baik oleh anak, akan membentuk karakter seorang anak. Bagaimana cara berpikir, berperilaku, dan menilai sesuatu. Hingga saat ini, saya yang tadinya anti-sekolah-mahal jadi bimbang... Apakah nanti saya juga harus menyekolahkan anak-anak saya di sekolah yang mahal?

Bagaimana pun, layaknya semua hal di dunia ini, tidak ada sekolah yang sempurna. Itulah yang membuat saya kebingungan jika ada orang yang menanyakan rekomendasi SD swasta untuk anaknya. Memilih SD untuk anak menurut saya serupa dengan memilih pasangan hidup.. Pada akhirnya, harus ada yang lebih diprioritaskan. Beberapa orang lebih memperhatikan penampilan - bagaimana fasilitasnya, aksesnya, gengsinya. Buat saya, sekolah yang paling tepat adalah sekolah yang mengajarkan nilai-nilai yang sama (atau sejalan) dengan yang ingin diajarkan oleh orang tua kepada anaknya. Karenanya, sebelum menyekolahkan anak, orang tua harus tahu terlebih dahulu, nilai apa yang dianggap penting dan ingin diajarkan kepada anak. Agama kah? Kompetisi? Moral? Seni? Alam? Akademis? Toleransi antar budaya dan agama? Pengembangan potensi diri dengan maksimal?

Faktanya, setiap sekolah beserta unsur di dalamnya memiliki nilai yang berbeda-beda, yang nantinya akan diturunkan kepada setiap peserta didik di sekolah tersebut. Makanya, penting untuk menyesuaikan ekspektasi orang tua dengan apa yang ditawarkan oleh sekolah. Menurut saya, mendidik seorang anak harus dibarengi oleh konsistensi dari setiap aspek di lingkungan. Jangan sampai apa yang diajarkan oleh orang tua di rumah ternyata berbeda dengan kenyataan yang ditemui di sekolah, atau malah sebaliknya.

Buat saya pribadi, salah satu nilai yang paling penting yang harus ditanamkan oleh para pendidik di sekolah adalah nilai agama. Karenanya, sekolah anak saya nanti harus sekolah Islam. Itu dulu yang terpenting. Kenapa? Karena anak-anak belajar melalui meniru dan melalui pembiasaan. Bagaimana pun, ritual-ritual keagamaan harus dibiasakan sejak dini. Dan saya percaya, anak yang sudah dibekali dengan pendidikan agama yang baik (termasuk di dalamnya mengenai pendidikan akhlak), akan memiliki moral yang baik pula, sehingga pendidikan agama (di rumah dan di sekolah) adalah sebuah fondasi untuk menghasilkan generasi yang berkualitas. Belajar agama itu bukan hanya di ranah kognitif, tapi juga harus sampai ke ranah afektif. Bukan hanya dengan menghapal ayat dan fiqih, tapi juga melalui contoh tentang cara berperilaku yang baik.

Selanjutnya, saya sangat mengagumi sekolah-sekolah berkurikulum internasional (atau kurikulum yang dibuat sendiri oleh orang-orang yang paham tentang pendidikan) karena kurikulumnya membiasakan anak untuk berpikir kritis. Anak-anak ini tidak diajarkan untuk melalap buku dan menghapalkan apa yang ada di buku (beberapa sekolah internasional bahkan tidak punya buku pelajaran!). Instead, mereka diajak untuk membahas kejadian di sekitar mereka. Mereka dibiasakan untuk menggunakan logika mereka - mengapa bisa seperti itu, apa saja dampak negatif dan positif dari suatu kejadian, apa yang bisa dilakukan, dan lainnya. Mereka dibiasakan untuk menggunakan otak mereka yang luar biasa potensinya untuk menganalisis, bukan hanya untuk menghapal. Selain itu, anak-anak juga dibiasakan untuk melakukan presentasi sejak dini. Mereka dibiasakan untuk berani berbicara di depan umum, berani berpendapat, dan berani memberikan kritik dan saran. Saya percaya, pengajaran dengan metode seperti ini akan jauh lebih bermanfaat daripada pelajaran-pelajaran akademis yang diujikan oleh negara.

Taksonomi Bloom (yang telah direvisi). Sedih kan, begitu tahu kalau UAN hanya menguji satu atau dua tujuan pendidikan yang paling bawah?

Selain itu, saya sangat mengapresiasi kedua sekolah yang sudah pernah saya masuki tersebut karena mengajarkan seni dan olah raga dalam porsi yang sangat besar. Ada pelajaran musik, visual art, drama, dan PE (pendidikan jasmani). Menurut saya, hal ini menjadi sangat baik karena pelajaran yang seringkali dianggap tidak penting (bahkan oleh saya, ketika sekolah dulu) ini memberikan kesempatan lebih besar kepada anak untuk mengembangkan kreativitasnya, dan untuk menjadi diri mereka sendiri. Selain itu, porsi pelajaran nonakademis yang cukup besar menurut saya sangat baik karena membuat setiap anak memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya. Ketika magang di Cikal dulu, saya bisa melihat potensi yang dimiliki setiap anak di kelas saya - karena terdapat kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan kemampuannya. Hal ini sangat penting bagi self-esteem anak, karena ia akan dinilai orang lain (dan menilai diri sendiri karenanya) berdasarkan bakat dan kemampuan yang ia miliki, bukan hanya berdasarkan pelajaran-pelajaran yang dianggap penting oleh lingkungan.
Hal yang seringkali dilupakan oleh orang tua, guru, atau siapa saja: menilai anak hanya dari pelajaran-pelajaran yang dianggap penting (terutama pelajaran-pelajaran yang di UAN-kan)


Karena alasan ini juga, saya beranggapan bahwa sekolah yang baik tidak akan menerapkan sistem ranking untuk menentukan mana anak yang paling baik. Setiap anak itu istimewa, dan membandingkan mereka hanya berdasarkan beberapa aspek tertentu buat saya adalah keputusan yang tidak adil untuk mereka.

But then again, pendidikan yang sempurna di sekolah tidak akan berimbas besar bagi anak jika ia tidak mendapatkan stimulasi, perhatian dan kasih sayang, disiplin, serta contoh yang baik di rumah. Bagaimana pun, seperti kata seorang ulama yang saya kutip di latar belakang skripsi saya, "Al-ummu madrasatul uulaa." Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Intinya, saya harus kerja keras supaya anak saya bisa sekolah di sekolah yang bagus, meskipun saya tetap nggak mau nyekolahin anak di sekolah yang bener-bener mahal karena khawatir anak saya jadi borjuis dan terbiasa hidup serba mudah. Tapi, meskipun begitu, ada satu hal lagi yang harus saya catet: Saya tetep harus jadi sekolah yang pertama dan utama untuk anak-anak saya nanti. Di sekolah apa pun mereka nanti, harus ada nilai-nilai penting yang mereka pelajari di rumah. Harus ada banyak hal baik yang tertanam pada diri mereka, karena diajarkan oleh dan ditiru dari orang tuanya. Merealisasikannya nggak akan mudah, tapi semoga tulisan ini juga bisa menjadi pengingat untuk saya.

Oh iya, sejauh yang saya tahu, belum ada sekolah yang bener-bener sesuai dengan kriteria sekolah-idaman-untuk-anak-saya yang sudah saya tuliskan di atas. Karenanya, saya jadi punya satu mimpi besar lagi: membuat sekolah impian saya. Tapi nanti ya, kalau saya sudah jadi psikolog terkenal dan sudah punya klinik keluarga dan tumbuh kembang anak yang keren. It's still a long, long, loooong way to go. But everything is possible if Allah allows it, right?

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...