Friday, November 12, 2010

Haters Gonna Hate

Belakangan ini, entah di media atau kehidupan sehari-hari, banyak yang sedang mempermasalahkan perbedaan. Perbedaan nilai, tepatnya. Awalnya sih saya santai-santai aja, malah kadang-kadang suka ikutan ngomongin orang yang terlihat berbeda. Konformitas, mungkin. Yang jelas saya nggak ngerasa apa yang kami lakuin itu salah. Sampe kemudian, saya mulai gerah dengan komentar orang-orang yang berlebihan. Dilebih-lebihkan, tepatnya. Hey, kok bisa sih kalian sebenci itu sama orang yang nggak kalian kenal secara personal? Itu yang jadi pikiran saya. Kalau yang diomongin itu orang yang dikenal dan memang ngelakuin kesalahan fatal, itu menurut saya masih bisa ditolerir (meskipun ngomongin orang emang nggak baik sih, tapi kalau penyebabnya jelas ya manusiawi kan?). Tapi kalau yang diomongin itu cuma bisa diliat di televisi atau bisa diliat langsung tapi nggak pernah ngobrol dan tuker pikiran sama kita, kok rasanya konyol kalau kita benci sama mereka. Kenal juga enggak.

Lagi pula, tau darimana kalau mereka lebih buruk daripada kita? Berbeda bukan berarti salah, kan? Gimana kalau kita (dan kebanyakan orang lain) ternyata yang salah?

Ibu saya pernah bilang gini, "jangan ngejelek-jelekin orang yang belum tentu nggak lebih bagus dari kamu, dong."

Bisa jadi mereka - orang-orang yang kita ketawain - ngelakuin hal itu justru karena punya integritas loh. Bisa jadi mereka justru tipikal orang yang tetap kekeuh menjalani prinsipnya meskipun diomongin kanan-kiri. Bisa mereka tahu kalau ada banyak orang yang akan selalu nggak suka dengan mereka, apapun itu yang mereka kerjain. Haters gonna hate, lovers gonna love.


Gimana kalo kita sama-sama menghargai nilai (yang dianut) masing-masing? Gimana kalo kita saling menghargai sudut pandang masing-masing?

Well, saya juga lagi belajar kok :)

Thursday, November 4, 2010

The Sweetest Seventeen

Ternyata ulang tahun saat minggu UTS nggak seburuk itu. Saya ulang tahun tepat sehari sebelum UTS Psikologi Belajar, yang entah kenapa materinya nggak juga bisa saya ngertiin meskipun udah dibaca berulang kali - yang entah kenapa jadi mata kuliah tersusah semester ini meskipun bobotnya cuma dua SKS.

Di hari ulang tahun saya, saya disurprisin sama sahabat-sahabat saya di kampus. Well, harusnya namanya bukan surprise lagi sih, karena setiap ada yang ulang tahun emang pasti dikasih surprise. Tapi entah kenapa, suprisenya tetep berkesan.

Saya lagi makan di Kancil bareng Anis, Ekki, dan Ryan. Tiba-tiba mata saya diiket sama Anis, terus saya digiring sampe Akademos dengan mata tertutup. Sederhana, tapi cukup buat saya malu karena banyak maba di selasar dan (menurut teman-teman saya) mereka semua ngeliatin saya digiring sambil ketawa-ketawa. Mana temen-temen yang narik saya bawel banget lagi, kadang teriak 'awas got' atau 'awas buaya' atau 'awas lintang' (well, cuma saya sama geng metpen yang tau maksudnya apa). Terus, di Akademos saya diputer tujuh belas kali dan begitu iketan matanya dibuka, hadirlah temen-temen deket saya. Ada geng metpen, siblings, jable, dan geng muslimah. Ada Posma, Ryan, Ekki, Anis, Umaira, Merina, Pravita, Aqisth, dan Mirza. Sempet ada Afi, Cide, Ika, Arina, sama Abay juga. Sayangnya Ratih sama Niken datengnya telat, terus Icca nggak bisa dateng karena harus nemenin mamanya.




Surprisenya sederhana, tapi berkesan. Ternyata banyak loh yang sayang sama saya :')


Besoknya, giliran anak BEM yang ngasih surprise buat saya. Nggak semua anak BEM sih, tepatnya media, PSDM, Kak Adit si ketua BEM, Kak Aci si koordinator biro, dan beberapa anak BEM lain.

Yang ini surprisenya lebih ngena karena pake skenario yang ujung-ujungnya bikin saya nangis lama banget, bahkan di rumah tiba-tiba saya nangis lagi. Saya nggak bisa ceritain kenapa, yang jelas dalam pelaksanaan skenario itu saya terlalu jujur dan akhirnya ngeluarin satu kalimat yang nggak seharusnya saya keluarin di depan bos-bos saya itu. Jadi ya pokoknya saya masih kepikiran insiden kemarin sampe sekarang, soalnya saya nggak ngerasa itu sebagai skenario buat nyurprisin saya. Saya ngerasa apa yang Kak Dina, Kak Adit, dan Kak Aci omongin ke saya itu semuanya bener, meskipun mungkin ada beberapa bagian yang dilebih-lebihin. Yang pasti kalo diinget-inget lagi sampe sekarang, saya pasti bakalan nangis lagi. Bakalan kecewa sama diri saya sendiri lagi.


Tapi intinya, yang mereka lakuin kemarin itu dampaknya sangaaaat bagus buat perbaikan diri saya. Dan lagi, ketika ditengah-tengah tangisan saya anak media dan psdm masuk sambil bawa kue dan nyanyiin selamat ulang tahun buat saya, saya juga tau kalo lagi-lagi saya ada di lingkungan yang nyaman - bahkan mungkin terlalu nyaman. Saya dikelilingin sama kakak-kakak yang sayang banget sama saya.


keliatan banget ya kalo saya abis nangis? :')


Intinya, meskipun tujuh belas tahun saya mungkin nggak semenyenangkan tujuh belas tahun teman-teman saya yang dirayain pas SMA, tujuh belas tahun saya tetap berkesan dan akan terus saya inget.





Saya nggak punya banyak doa untuk ulang tahun saya yang sekarang. Doanya sama aja sama doa kemarin-kemarin. Saya cuma berharap saya bisa tambah dewasa (karena meskipun saya tujuh belas tahun, pola pikir dan tingkah laku saya harus sembilan belas atau dua puluh tahun), bisa lebih pinter bagi waktu (kapan buat akademis, kapan buat nonakademis, kapan buat saya sendiri), dan berharap perjalanan saya untuk jadi psikolog anak mulus-mulus aja. Amin!


Makasih ya, untuk kalian yang sayang sama saya. Makasih untuk surprisenya. Makasih untuk doa dan ucapannya. Makasih untuk usahanya bikinin saya tujuh belas tahun yang sangat berkesan, meskipun mungkin nggak seberkesan tujuh belas tahun kalian - karena emang itu nggak akan bisa terjadi.
Saya sayang banget sama kalian! :__)

Sunday, October 31, 2010

Yes, This Is What We Always Do

You know what we do when we're desperate or upset about something? When we feel really sad but we can't share it with anyone, even if she/he is our best friend, because we think it might not be appropriate? Or when we think our problem is too complicated (or even too simple) to be understood by another person? Or when we already knew that this is our own fault, so telling people, even if they love us so much, is just gonna make we feel worse because of the judgments we will get?

Well, here's what we do. We put smiley face on that so called social networks. We still can cheer up our friends who need to be cheered without letting them know that we also need someone who supports us and tells us that everything's gonna be okay. We lock ourselves in our room and cry, and wipe our tears as soon as our parents or siblings call out our name. We don't want them to know that we're sad. We write down something in our blog or anything about our feeling, but without letting other people know about why we feel this way. We turn our iPod on and listen to our favorite songs with the loudest volume, so we can't hear anything but the music.
We try to sleep and forget our problems.

And, the next morning, though we still can't forget the problem at all, we forget the sad-feeling we felt the last night. We just feel too happy and excited to face the new day. We meet our friends and have fun with them. And when in our lecturer tell us to share our problems with our partner, we can't even remember what our problems are. We just know that we're happy and we can manage everything. And, yes, we're known as the cheerful person, who always know how to make people laugh and know how to make people feel better.

And by we, I mean me.
Or maybe you, or anyone who ever felt this way.

Tuesday, October 19, 2010

(One Of) The Difference

"Jadi psikolog itu beda dengan jadi temen curhat. Kalo jadi temen curhat, biasanya kita secepat itu memberikan solusi ke temen yang curhat sama kita. Temen curhat biasanya bersimpati, sedangkan psikolog harusnya berempati
Psikolog tidak memberikan solusi - tapi memberikan pertanyaan-pertanyaan ke kliennya yang mengarahkan mereka untuk bisa memutuskan sendiri solusi dari permasalahan mereka.
"
  
- disarikan dari omongan Mbak Pingkan di bincang karir Introduction To Psychology dan ditambah dengan prior knowledge saya, terutama setelah mendapatkan kuliah Psikologi Bantuan.

See the difference?
Nah, itu yang bikin saya khawatir. Saya orangnya gampang banget ngasih solusi, padahal bisa aja solusi yang saya kasih berkaitan erat dengan masa depan temen saya (misalnya, saya nyuruh dia putus - padahal bisa aja cowoknya/ceweknya itu yang akan jadi suami/istri dia nanti). Setelah beberapa kali dateng ke kuliah Psikologi Bantuan, saya jadi tau kalo yang memberikan solusi itu seharusnya mereka sendiri.

Kenapa? Supaya mereka yang bertanggung jawab dengan keputusannya itu. Jadi, mulai sekarang saya mau belajar buat nggak secepet itu ngasih solusi ke temen saya yang punya masalah. Well, nggak segampang itu sih - apalagi orang biasanya mengharapkan solusi dari temen curhatnya. Saya akan belajar untuk memberikan pendapat dari sudut pandang saya, tapi nggak memaksa dia untuk melihat masalahnya dari sudut pandang saya. Susah sih. Nggak yakin bisa sih. Tapi ayolah, harus belajar!
Well, ini cuma pikiran random saya di pagi hari. Ciao!

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...