Ketakutan saya mulai hilang ketika berhadapan langsung
dengan mereka: empat belas anak yang merebut perhatian saya dengan segera. Ada
yang ramah – bahkan terlalu ramah, ada yang terlihat kaku tapi diam-diam
mendekati saya sambil membawa majalah tentang kereta dan menceritakan saya
segala hal yang ia ketahui tentang kereta, ada juga yang menatap saya dengan
tatapan jutek – meskipun minggu
berikutnya saya mulai mengenal dia dan mengetahui kalau wajah dan gaya
berbicaranya memang seperti itu, meskipun ia sebenarnya sangat baik dan
penurut. Empat belas anak ini benar-benar berbeda satu sama lain. Mereka
memiliki keunikannya sendiri-sendiri.
Meskipun di sekolah ini saya menjadi ‘ibu guru’, rupanya
bukan hanya mereka yang mendapatkan pelajaran dari saya. Saya pun belajar
banyak dari mereka. Dari anak-anak ini, saya belajar tentang persistensi dan
resistensi – tentang perjuangan dan
kegigihan. Sebagai sarjana baru, saya dan teman-teman saya kerap
memperbincangkan dunia nyata yang kejam. Dunia nyata itu kejam, penuh
tantangan, dan tidak semudah yang kami inginkan. Tetapi ketika melihat
anak-anak ini sedang berjuang, saya tertegun. Kalau saya saja merasa dunia ini kejam dan penuh dengan tantangan,
bagaimana dengan anak-anak ini?
Bayangkan saja, mereka bahkan harus belajar dan menahan diri
mereka untuk tidak tertawa atau senyum-senyum sendiri jika tidak ada stimulus
yang jelas, menatap mata lawan bicara, menjawab pertanyaan yang dilontarkan
orang lain, bersabar saat menunggu giliran, tidak bergumam di tengah-tengah
pelajaran, menyapa orang lain yang dikenal saat berpapasan, dan lain-lain.
Mereka harus berusaha keras untuk melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan
secara otomatis.
Mereka juga harus berjuang keras untuk melakukan operasi
matematika sederhana, seperti penjumlahan, pengurangan, serta mengenali dan
memberikan nominal uang yang tepat. Di hari ketiga saya mengajar, saya sudah
membuat seorang anak menangis karena saya melarang ia untuk keluar kelas sebelum
berhasil menyelesaikan soal yang saya berikan. Anak ini sudah kelas empat SD,
tapi masih kebingungan saat melakukan pengurangan dua digit dengan metode susun
ke bawah. “It’s really hard, Bu, I can’t
do it.” Melihat ia menangis, saya ikutan sedih, dan bahkan hampir
meneteskan air mata. Saya hampir saja luluh dan mempersilakan dia untuk
meninggalkan ruangan kelas bersama temannya yang lain, tapi guru-guru yang lain
serta teori-teori yang saya pelajari ketika kuliah mengajarkan saya untuk tegas
dan konsisten dalam menerapkan peraturan. Saya pun terus menambahkan soal
karena dia belum juga berhasil, sambil menuntunnya agar berhasil menemukan
jawaban yang benar. “Ayo, dicoba lagi!”
“Sedikit lagi!” “Satu nomor lagi ya…” Sampai akhirnya, dia berhasil
menjawab soal yang saya berikan, serta dua
soal tambahan yang saya berikan untuk memastikan bahwa ia benar-benar
telah mengerti. Anak itu tersenyum bangga. “Susah
atau gampang, Go?” tanya saya. “It’s
easy, Bu!!!” katanya, seolah lupa kalau beberapa menit yang lalu ia baru
saja menangis karena merasa tidak sanggup mengerjakan soal yang saya berikan.
Christopher Reeves pernah bilang,
“Anyone can give up, it’s the easiest thing in the world to do. But to hold it together when everyone else would understand if you fell apart, that’s true strength.”Maka anak-anak hebat ini mencerminkan kekuatan yang sesungguhnya, karena mereka tidak pernah letih untuk mencoba – bahkan ketika guru mereka memaklumi kondisi mereka, karena mengerti bahwa kapasitas yang mereka miliki memang berbeda dengan anak-anak lain yang sebaya.
Dari anak-anak ini, saya juga belajar untuk bersyukur. Saya
belajar untuk mensyukuri hal-hal yang Tuhan berikan untuk saya, yang selama ini
saya abaikan – seperti kemampuan untuk memenuhi ekspektasi lingkungan tanpa
harus mengerahkan usaha yang terlalu banyak. Saya juga belajar untuk mensyukuri
hal-hal kecil yang ada di sekitar saya. Saya bersyukur karena Tuhan membuka
jalan saya untuk bertemu dengan mereka: empat belas anak hebat, kesayangan
saya. Saya bersyukur karena bisa menemukan kebahagiaan-kebahagiaan kecil setiap
hari, seperti saat mendengar mereka melontarkan komentar-komentar lucu dengan
wajah yang polos, atau kebahagiaan yang lebih luar biasa lagi: ketika melihat
mereka berhasil dan ketika melihat mereka menunjukkan performa yang lebih baik
daripada ekspektasi yang saya buat sebelumnya.
Suatu sore, setelah berhasil mengikuti semua perintah saya
saat ekskul melukis, seorang anak bertanya kepada saya, “Ibu Ayas bangga?”
Anak itu mungkin tidak benar-benar mengerti apa arti kata
‘bangga’ dan seberapa dalam makna kata itu—setidaknya bagi saya, tapi saya
tidak perlu berpikir panjang untuk mengangguk dengan yakin. Tentu saja Ibu Ayas bangga sama kalian semua!
Belum genap satu
bulan saya mengajar di sekolah ini. Tapi saya sudah jatuh cinta.
(Ditulis sebagai bagian dari proyek buku tentang pengalaman mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus yang ditulis oleh special education teachers di Sekolah Cita Buana, dalam rangka merayakan Autism Awareness Day 2013).
2 comments:
Ceritanya indah, menyentuh, dan inspiratif sekali kak Ayas. :)
Keep inspiring, Kak! :)
:) makasih gugum!
Post a Comment