Friday, February 22, 2013

To Choose, To Sacrifice

Beberapa bulan terakhir, beberapa hal yang terjadi dalam hidup saya membuat saya sadar bahwa dunia itu tidak sesederhana yang saya bayangkan. Bahwa hidup itu kadang tidak bisa berjalan semudah yang saya harapkan. Bahwa hidup memang penuh dengan pilihan. Bahwa memilih itu bukanlah hal yang mudah - apalagi pilihan-pilihan yang berkaitan dengan komitmen. Because, as people said, you just can't have it all.

Memilih pekerjaan pun nggak mudah. Mau yang duitnya banyak, atau yang sesuai dengan passion? Mau pilih yang sesuai dengan track yang udah ada, atau mau coba hal baru? Mau mulai dari bawah, apa kekeuh untuk dapet yang tinggi?

Untungnya, saya tahu passion saya, seenggaknya untuk saat ini. Teman saya pernah bilang, kalau sampe rela kerja nggak dibayar, itu namanya passion. Makanya, saya akhirnya menjadikan si 'passion' ini sebagai faktor pertama dalam mencari kerja. Yaudah deh segini dulu, kan saya bisa belajar banyak. Kan saya pasti seneng. Capek mungkin, tapi yakin banget pasti seneng. Tapi ya namanya juga manusia, selalu gimana gitu kalo tau range gaji freshgraduate di beberapa perusahaan besar. Selalu gimana, gitu, kalau lagi dengerin beberapa temen cerita tentang standar gaji yang dipake saat wawancara kerja. Iya sih, untuk saat ini saya belum butuh uang banyak. Aduh, tapi siapa sih yang nggak pengen cepet mandiri secara finansial dari orang tuanya? Siapa sih yang nggak pengen cepet-cepet ngurangin beban orang tuanya? Siapa sih yang nggak mau nabung buat masa depan?

Kalau lagi kayak gini nih ya, saya mencoba untuk mengingat-ingat lagi pesen orang tua saya ketika saya lagi galau milih jurusan dulu. Kata ayah saya, pilih jurusan yang nanti bisa fleksibel kerjanya. Pilih kerjaan yang memungkinkan saya untuk kerja dari rumah. Kata ibu saya, perempuan itu nggak boleh kerja kantoran. Jadi istri dan ibu itu pekerjaan paling penting, jadi hal-hal yang kayak gitu harus udah mulai dipikirin. Pesan sederhana itu bikin saya inget lagi, kalau saya memilih jurusan ini memang bukan karena faktor materi. Sejak awal, saya udah tahu, bukan itu yang saya kejar - meskipun saat itu saya bener-bener masih lugu dan nggak tahu apa-apa soal hidup. Sebelum jadi mahasiswa, saya udah tahu kok, kalau memang mau cepet kaya, bukan fakultas ini yang akan saya taruh di pilihan pertama.

Kalau lagi punya pikiran (negatif) kayak gini, saya inget lagi deh apa cita-cita saya, apa mimpi saya. Apa yang bikin saya jatuh cinta sama psikologi. Apa yang bikin saya sepengen itu jadi psikolog. Apa yang bisa saya lakukan kalau nanti sudah jadi psikolog. Apa impact-nya buat orang lain, buat keluarga saya. Saya tahu, mimpi saya bukan mimpi yang bisa digapai satu-dua tahun lagi. It takes years (and... money) to be a good psychologist. Jadi ya udah, I will just take a leap of faith and see where it goes

Anyway, lucu yah kalau disentil sama hal-hal di sekitar. Kurang random apa coba, saya lagi nonton White Collar, terus ada yang ngomong begini:

"Choices are sacrifices. And inevitably, that means giving up what you want, for something that you want more."
- Agent Jones

Pada akhirnya, saya memilih untuk mengikuti hati saya. Saya tahu kalau saya akan jatuh cinta dengan pekerjaan ini, saya tahu kalau saya akan mendapatkan banyak pelajaran berharga dari pekerjaan ini, dan saya tahu kalau itu cukup. Untuk saat ini, itu sudah lebih dari cukup.

After all, happiness is what matter most, isn't it? :)

Sunday, February 10, 2013

The Graduation Day

Ketika saya hanya menganggap wisuda sebagai sebuah formalitas yang harus saya jalani sebagai bagian dari hidup, datanglah orang-orang yang mengingatkan kalau momen ini pantas saya rayakan - atau setidaknya, saya nikmati dan kenang.









Makasih, ya. Saya selalu seneng kalau kembali diingatkan: banyak orang yang sayang sama saya.


Ngomong-ngomong, saya jadi inget, salah satu dosen saya pernah bilang, 'kalian udah nyelametin diri kalian sendiri, belum?'

Sejujurnya, sepertinya belum. Saya selalu bersyukur saya bisa lulus semester ini dengan nilai yang sesuai dengan yang saya targetkan. Tapi, sejujurnya saya nggak segitu bangganya, karena seperti biasa, saya selalu melihat ke atas. Masih ada banyak banget kok orang yang prestasinya lebih hebat daripada saya, jadi saya belum berhak buat bangga sama diri sendiri. 

...And now that I have realized that I'd been being too hard on myself, saya mau meralat: Saya bangga kok sama diri saya sendiri. Saya tahu, kalau aja saya lebih giat usahanya, saya bisa dapet hasil yang lebih baik lagi. And I know that I should have aimed higher. Tapi setidaknya, ini murni hasil jerih payah saya sendiri selama tujuh semester kuliah. Setidaknya, semua target yang saya buat tahun lalu tercapai. Setidaknya, saya udah berhasil bikin keluarga saya bangga. And that's what matters the most, right?

Saya bangga karena tahun lalu saya iri sama senior-senior saya yang aktif di kampus dan bisa lulus 3,5 tahun, dan saya berhasil membuktikan ke diri saya sendiri kalau saya juga bisa. Saya bangga karena telah berhasil melawan rasa malas dan bangkit dari burn out. Saya bangga sama diri saya sendiri karena berhasil melewati kerikil-kerikil yang ada, melawan diri saya sendiri, dan berhasil mencapai sesuatu yang nggak akan bisa dicapai sama saya-versi-empat-tahun-lalu. So, yes, I am proud enough.

Saya akan lebih bangga lagi kalau saya bisa segera melakukan sesuatu dan segera menemukan zona nyaman yang baru.

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Welcome to the jungle out there, dear S.Psi pals! :) 



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...