Sunday, July 27, 2014

About Don And Rosie

I rarely read fiction books because most of the times I end up turning the page back and forth, trying to find out which one is whom. I'm not good at remembering names, that's why. I prefer to read non-fiction books, and watch movies and tv series instead.

But a few days ago, an article on my Feedly showed 6 books that Bill Gates recommended to read this summer. Five of them are business/science-related books, except for this one, a novel. He also mentioned that he doesn't usually like novels because he found it hard to remember the character's names. What are the odds! I then got curious and decided to read the book. I've never seen it in any bookstores, so I decided to download one (yes, guilty as charged, sorry). Will definitely buy a copy as soon as it's available, though.




The book is about Don Tillman, a genetic professor with Asperger's syndrome, even though it's never really told in the novel and it seems like he didn't even know that he has Asperger's. One of the reason behind my enjoyment in reading the book is because the readers are welcomed to see things from his perspective, and I get it. I know Simsion overgeneralized a person with ASD (from this book, Don is very similar with Sheldon Cooper), but I can imagine one or two of my students (with mild autism or Asperger's) doing or saying things that Don does. He is socially inept, blunt, has difficulty in understanding social cues and to see things from other people's perspective, has brilliant memory, doesn't fancy physical touch, and always complies to the rules. Too cliché, but I suppose it's still tolerable, considering that this is a fiction work that needs to be enjoyable by the readers.

As a person with Asperger's who is looking for a wife, Don obviously has a list. A long list, to be exact. He wants his wife to be intelligent, not smoking nor drink (but he then change this criterion because apparently it's hard to find someone who doesn't drink in Australia), punctual, not a vegetarian, and a lot more. He even made a questionnaire to make his "wife project" more efficient. Sounds foolish? Not for me. I feel like I'm Don, or the mild, normal version of Don. I set the bar too high, or too picky, as some friend told me. I even decided to create a questionnaire myself (an open-ended and two-way one, unlike Don's, to make sure that we want the same thing). That's why the book gets even more interesting.

Unsurprisingly, a lot of women didn't meet his standard. He met a perfect candidate named Bianca, but the feeling was not reciprocal, as she wanted someone who can dance. He also met Rosie, an attractive young barmaid (who was later explained to be a PhD student in psychology as well) who lies far below the benchmark. Don crossed her name off his "Wife Project" list after their first date, but they remained friends and did a "father project" together. Using Don's expertise, they both tried to find out who Rosie's biological father is by testing abundance of people's DNAs. 

We all know how it turned out in the end: They fell in love. Don and Rosie think that he is incapable of love, but I do think that he is. Not in a neurotypical-person kind of way, perhaps, but his willingness to change and to spend the rest of his life with her against all odds, that's love.

“I asked you here tonight because when you realise you want to spend the rest of your life with somebody, you want the rest of your life to start as soon as possible" - Don to Rosie

A love story about an intelligent professor and an outgoing psychology PhD student - what's not to like? This book is also light enough to be read anywhere, anytime. It's also witty and heart-warming. I smiled a lot when I read it.

At the end, Don chose to be with Rosie even though she is far from what he expected at first. 

“I haven’t changed my mind. That’s the point! I want to spend my life with you even though it’s totally irrational. And you have short earlobes. Socially and genetically there’s no reason for me to be attracted to you. The only logical conclusion is that I must be in love with you.”

And here is the most interesting part: They both didn't want their partners to change. They didn't yearn for those, but they accepted each other as he/she was. Nevertheless, Don realized that Rosie and The Rosie Project had changed him in several ways.

“If you really love someone, you have to be prepared to accept them as they are. Maybe you hope that one day they get a wake-up call and make the changes for their own reasons.” - Claudia (a friend) to Don
It's only a fiction work who (almost) always ends happily. It sure gets me all dreamy, but I guess it's just a normal neurotypical person's reaction to a cute, sweet love story.

At the end, we never know who will we end up with. It could be a person that we have been praying for years, or someone who we would never imagine to spend our lives with. Just believe that whomever that is, he/she is someone who Allah thinks will suit us best. Because I don't think that Don will work with Bianca. In order to live, Don needs Rosie.


Monday, July 21, 2014

Tentang Menutup Aurat

Saya pertama kali menggunakan jilbab ketika berusia sebelas hari. Iya, hari, bukan tahun. Ketika itu, jilbab anak belum jadi tren, sehingga hampir semua jilbab saya adalah hasil jahitan nenek dan ibu saya. Meskipun saya baru benar-benar menutup aurat ketika telah menstruasi (sebelumnya saya masih suka pakai celana selutut saat berenang atau lepas jilbab kalau merasa kegerahan), orang tua saya sudah membiasakan saya untuk berjilbab sejak kecil.


Jilbab pertama




Alhamdulillah, karena telah dilatih sejak kecil, aurat saya tidak pernah tersingkap (kecuali kaki dan tangan karena suka bandel). Tapi kadang-kadang saya iri sama teman-teman saya yang menemukan jalannya sendiri. Rasanya pasti beda dong ya. Saya juga pernah melewati masa-masa di mana saya iri sama teman-teman saya yang nggak berjilbab, meskipun nggak pernah sampai kepengen lepas jilbab. But in the end, saya tentu bersyukur karena lingkungan saya selalu mendukung saya untuk menutup aurat.


Jadi, kenapa sih harus pake jilbab?

Alasan utamanya ya karena wajib. Karena ada di surat An-Nuur (24) : 31. Saya bukan orang yang setuju kalau interpretasi terhadap Al-Quran merupakan hal yang bisa diubah seenaknya sesuai dengan perubahan zaman, jadi buat saya, jilbab tetap wajib. Titik. 

Kalaupun ternyata jibab nggak wajib (seperti argumentasi beberapa orang), manfaatnya tetep banyak kok. Salah satu manfaat dari berjilbab yang saya bener-bener rasain adalah menjaga diri saya dari tempat-tempat dan kegiatan-kegiatan yang negatif. Ah, kan saya pake jilbab, masak ngerokok (meskipun sempet ada di situasi di mana semua temen cewek di sekitar saya ngerokok dan rasanya penasaran banget buat iseng nyoba); ah, saya kan pake jilbab, masak nonton konser di night club (meskipun tempat itu memang sudah sering digunakan sebagai venue konser); ah, saya kan berjilbab, masak nggak ngeduluin shalat; dan ah, ah yang lainnya.

Selain itu, jilbab membuat saya merasa lebih tenang karena tubuh saya tertutup, jadi kemungkinan dipandang sama orang lain jadi lebih kecil. Iya sih memang, ada juga beberapa kasus di mana wanita yang berjilbab tetap menjadi korban pelecehan seksual. Tapi saya percaya bahwa pakaian dan perilaku yang provoking akan membuka celah dan godaan yang lebih besar. Di saat yang bersamaan, laki-laki tentu juga punya kewajiban untuk menundukkan pandangan dan menghormati wanita - tapi tidak ada salahnya kan, melakukan tindakan preventif?

Memakai jilbab bukanlah bentuk opresi dan bentuk rasa malu terhadap tubuh sendiri (sehingga membuka aurat menurut saya juga bukan cara untuk mengekspresikan diri atau menunjukkan kebebasan), tapi justru bentuk penghormatan terhadap diri kita. Bentuk penghargaan terhadap anggota-anggota tubuh yang tentu harus dijaga untuk seseorang yang istimewa, bukan untuk semua orang yang berpapasan dengan kita. Itu yang saya yakini. Someone would feel happier if they could touch, see, and do things other people couldn't, right?

Memakai jilbab dan menutupi bagian tubuh yang buat sebagian orang justru merupakan "aset", pada akhirnya membuat saya lebih percaya dengan kemampuan saya sendiri. Bukan tubuh saya yang jadi penilaian utama, but what's within.

Selain itu, jilbab adalah identitas utama sebagai seorang muslimah. Saya baru memahami makna ini ketika sedang pergi ke Hongkong, negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim. Di sana, berpapasan dengan orang yang berjilbab (baik orang Indonesia maupun dari bangsa lain) rasanya seperti kembali ke rumah. Rasanya nyaman banget, dan indah karena pasti jadi saling bertukar salam dan senyum. Saya baru merasakan makna "saudara seiman" ketika sedang jadi minoritas. It felt that happy to meet your sisters when you're far from home.

Dan satu lagi: jilbab membantu kita mengurangi dosa ayah (atau suami) kita, karena seorang laki-laki memiliki kewajiban untuk memberi tahu istri dan anak-anaknya untuk menutup aurat, seperti yang tertulis dalam QS. Al-Ahzab (33) ayat 59. I would do anything to release my father from such a burden.



Tapi gerah!

Saya nggak akan bilang "enggak kok nggak gerah, kan hatinya jadi adem". Saya termasuk tipe "makhluk kutub" yang harus kena AC dan gets super-cranky kalau kegerahan. Ada kalanya saya sadar kok, dunia jadi jauuuhhh lebih adem dan dingin begitu saya lepas jilbab dan kardigan. Ada kalanya saya sirik sama temen-temen yang bisa pakai baju dengan bahan yang tipis ke kampus. Kalau saya mau pakai baju dengan bahan setipe, saya harus pakai kaos ketat di dalam. Makin gerah. Tapi gini, buat saya memakai jilbab itu adalah bentuk pengorbanan luar biasa dari seorang wanita. Yang namanya berkorban emang nggak akan gampang. Kadang gerah, keringetan, dan bahkan bikin rambut rontok dan ketombean. Tapi, yang namanya berkorban, balasan yang akan kita dapatkan di akhir juga akan setimpal. Versi kasar dan klisenyanya gini, segerah-gerahnya matahari Jakarta, gerahan mana coba sama matahari di neraka?


Tapi nanti jadi nggak cantik!

Komentar ini udah nggak relevan lagi kali yah di jaman sekarang, apalagi kalau tinggal di Indonesia, pusat muslim fashion dunia. Bahkan banyak orang yang justru baru jadi stylish setelah pakai jilbab. Saya bukan penganut Islam garis keras yang berkoar-koar bahwa jilbab "ala hijabers" itu haram. Yang saya yakini, berjilbab dengan warna dan motif yang lucu itu nggak dosa kok, asal tetap mengikuti kaidahnya (misalnya tetap menutup liuk tubuh dan nggak tembus pandang). Ini debatable banget tapi ya, jadi silahkan ikuti kata hati masing-masing. Mulai berjilbab dari jilbab yang pendek menurut saya juga nggak masalah, asal terus belajar dan dipanjangin dikit-dikit. Pilih aja style yang paling nyaman di awal, namanya juga lagi belajar. Saya malah seneng jilbab jadi tren, karena jadi banyak banget yang berani berjibab. Oh iya, nggak ada kewajiban untuk pakai jilbab lebar dan panjang sampai ke bokong kok - itu pure pilihan, silakan pakai seperti itu kalau merasa nyaman, tapi yang wajib ditutupi hanya sampai dada (asal pakaiannya juga nggak ketat ya). Just find a style that suits you best.


Tapi belum pantas!

Memakai jilbab itu bukan setelah shalat kita rajin dan perilaku kita sempurna. Memakai jilbab itu bukan setelah bisa ngaji dan sering puasa sunnah. Memakai jilbab itu kewajiban, sama seperti shalat. Sama juga seperti kewajiban untuk berbakti kepada orang tua dan memperlakukan orang lain dengan pantas. Sama-sama wajib. Kalau nunggu sempurna dulu ya nggak akan mulai, karena saya udah pakai jilbab hampir 21 tahun juga masih gini perilakunya (not something to brag about, I know). Menurut saya, berjilbab dan memperbaiki ibadah dan perilaku itu harus dilakukan sejalan, nggak ada yang lebih utama untuk dilakukan duluan. Berjilbab adalah salah satu bentuk penghambaan terhadap Allah dan salah satu cara untuk menjaga diri dalam pergaulan.

Satu lagi, buat saya jilbab juga merupakan cara saya bersyukur. Saya Sudah mendapatkan banyak sekali kenikmatan dan kemudahan di dunia - masak berkorban sedikit saja saya nggak mau?


Tapi belum siap!

Kalau gitu banyak-banyak berdoa sama Allah supaya lebih mantep hatinya, dan banyak-banyak ngobrol sama temen yang berjilbab. Insya Allah dibantuin sama Allah kok, asal niatnya baik.


Meskipun saya menulis ini, bukan berarti saya sudah sempurna dalam menutup aurat. Pergelangan tangan saya masih suka keliatan, kaos kaki masih suka nerawang, jilbabnya juga masih suka keangkat karena kekeuh ga mau pake jilbab-panjang-konvensional. Perilaku saya juga belum mencerminkan muslimah panutan - masih jauuuhhhh banget. Tapi saya memberanikan diri untuk menulis ini karena momennya sedang tepat, dan karena saya merasa memiliki kewajiban untuk menyampaikan walaupun hanya satu ayat. 

Kata ibu saya, kalau merasa tersinggung ketika mendengar ceramah itu berarti pertanda baik, karena berarti hatinya masih lembut. Kalau begitu, semoga teman-teman yang membaca tulisan ini jadi tersinggung, tapi nggak jadi kesel sama saya ya hehe. Semoga dibukakan hatinya untuk segera berjilbab, supaya saya juga jadi kecipratan pahalanya.

Yuk sama-sama memantaskan diri supaya jadi lebih baik :)


Saturday, July 12, 2014

About A Young Girl and A Couple

A couple came to a dinner, along with their three lovely children. The husband went straight to see his friends, who invited him to the dinner. The husband talked with his friends, laughed happily, and ate together with them. The wife took cake of the children. The wife sat with all of them in the corner, fed them, and saw them play. The wife sat there for a few hours, waiting for the husband to finish his little reunion.

A young girl, who apparently knew nothing about life, observed. Don't get her wrong - she is not a feminist who doesn't want to do the "woman-part" at home. There was nothing wrong with what the wife did, she thought. But she just doesn't want to grow like that.

She wants to be a wife that can be her husband's friends' friend. She wants to be a wife that can be involved in her husband's life. She wants to be a wife whose husband involves her in his life, and wants to be involved in her life as well. 

If that's not too much to ask. 

Thursday, July 10, 2014

Tentang Psikologi dan LGBT

Jangan bosan ya, karena lagi-lagi saya akan menulis tentang LGBT. Ya, ini buah dari serangkaian seminar yang saya ikuti, bertemakan anti-feminisme dan kesetaraan gender. Minggu ini, pembicaranya adalah seseorang yang mengambil magister psikologi (tapi entah spesifikasi bidangnya apa). Temanya adalah pandangan psikologi mengenai "normalisasi" homoseksual. Menarik ya.

Psikologi memang ilmu yang dibaliknya terdapat banyak kaum sekuler dan liberalis. Saya akui itu. Dosen dan temen saya yang jadi agnostik atau atheis setelah masuk psikologi juga ada, kok - apalagi yang "cuma" liberal atau sekuler. Tapi saya nggak setuju kalau psikologi dibilang sebagai ilmu yang sesat, atau ilmu yang nggak bermanfaat (ada beberapa ibu-ibu yang nyeletuk gitu setelah materi kemarin disampaikan). Jujur, saya sedih banget, cenderung ke marah bahkan mungkin ya, cuma ditahan karena itu bukan forum akademis (jadi kalau saya sibuk ngasih kritik orang-orang malah akan ngira saya ikutan liberal) dan karena saya lagi puasa. Catetan saya mah udah banyak banget, udah sibuk nyoret-nyoret sana-sini dan googling sana-sini buat crosscheck data. Udah siap dengan counter-argument untuk beberapa poin yang saya nilai asumtif atau subyektif. Tapi ditahan sama ibu saya karena takut menjatuhkan kredibilitas pembicara.

Saya jatuh cinta dengan ilmu psikologi. Buat saya, menemukan penjelasan mengenai manusia itu rasanya menyenangkan. Pembicara kemarin bilang kalau belajar psikologi itu buang-buang waktu dan "nggak menambah keimanan". Buat saya, mempelajari tentang proses mental dan perilaku manusia justru makin membuat saya kagum sama Allah, yang bisa menciptakan manusia dengan segitu kompleksnya. Kalau belajar ilmu baru emang nggak boleh su'uzhan dulu, supaya bisa dapet hikmahnya.

Saya kecewa karena pembicara kemarin asal "nyaplok" teori dan penelitian psikologi yang berlawanan dengan ideologi dia (dan kebanyakan peserta seminar). Ibu saya agak heran ngeliat saya sekesal itu, tapi mengerti setelah saya jelaskan bahwa rasanya sama dengan ketika ada orang yang cuma belajar Islam sebentar, cuma lihat cuplikan ayat tentang poligami, warisan, dan "memukul istri" tanpa baca tafsir, tapi sibuk berkoar-koar kalau Islam itu agama yang diskriminatif terhadap wanita. Ya gimana enggak, teori yang dibahas kemarin cuma humanistik, psikoanalisis, behavioralistik sendiri-sendiri; padahal itu pilihan cara pandang, dan padahal ada cara pandang baru yang lebih menyeluruh dan masuk akal; cara pandang yang lebih kontemporer, yang menganggap bahwa manusia terbentuk berdasarkan pengaruh genetis dan lingkungan; nature versus nurture.

Selain itu, pembicara juga menjelaskan seolah-olah semua orang yang belajar psikologi setuju dengan teori Freud dan pandangan bahwa manusia bebas melakukan apapun demi kebahagiaan pribadinya. Ditambah dengan pernyataan bahwa dalam ilmu psikologi, benar dan salah adalah hal yang relatif dan bebas ditentukan sendiri. Saya sih sepakat kalau benar dan salah memang merupakan hal yang bersifat relatif, tapi diatur oleh norma yang berlaku di masyarakat setempat. Agama bisa jadi salah satu faktor penentunya. Jadi nggak bener kalau menurut psikologi semua perilaku bisa dilakukan asal bikin bahagia. Kalau bertentangan dengan norma yang berlaku di suatu kelompok (agama, suku, dan lainnya), tentu perilaku itu jadi bernilai buruk di mata kelompok tersebut. Masih ada beberapa poin lagi yang dikritisi oleh pembicara. Sayangnya, hampir tidak ada satu pun poin yang saya sepakati, yang saya anggap bisa menggambarkan psikologi secara obyektif. Kebanyakaan yang dia sampaikan oversimplified dan bias. 

Pada pertemuan kemarin, si pembicara juga sempat membahas mengenai kritik yang ia sampaikan terhadap hasil-hasil penelitian neuropsikologi mengenai homoseksualitas. Penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa homoseksualitas mungkin muncul karena ada perbedaan di struktur otak, kromosom, dan lainnya. Penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa homoseksualitas terjadi karena masalah genetik. Sayangnya, menurut saya, pembicara tidak punya kapabilitas (dari segi ilmu pengetahuan) untuk menyampaikan kritik tersebut. Jadinya malah bikin justifikasi doang, bahwa penelitian-penelitian itu dibuat untuk melegalkan homoseksualitas dengan menunjukkan "I was born this way". Dia kekeuh kalau homoseksualitas itu seratus persen lingkungan, titik. Kalau ada gangguan hormon atau otak ya itu pengecualian. Yang bikin lebih gemes lagi, penelitian yang diambil adalah penelitian-penelitian lama (ada sih yang dia bilang baru, tapi tahun 2005, 7 tahun yang lalu), padahal saya tahu ada penelitian yang lebih baru. Saya belum bisa komentar banyak soal ini, karena saya merasa pengetahuan saya belum cukup banyak untuk bisa me-review jurnal neuroscience dan neuropsikologi. Ini salah satu PR buat saya setelah selesai kuliah magister nanti (meskipun bidang studi yang saya tekuni hanya tipis irisannya dengan masalah gender dan seksualitas).

My point is, hati-hati dalam memberikan komentar, apalagi terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu di bidang tersebut. Kritik boleh banget diberikan, tapi harus didukung oleh fakta dan basic ilmu yang kuat. Jangan coba-coba mengkritik sesuatu kalau ternyata kita belum benar-benar memahaminya. Silahkan kritis, tapi jangan skeptis. Jangan sampai kebencian kita terhadap suatu hal membuat mata, hati, dan telinga kita jadi tertutup.

Saya makin rindu dengan situasi diskusi akademis, di mana dua pihak dengan pandangan dan nilai yang berbeda bisa saling menyampaikan dan mendengarkan pendapat tanpa saling menjatuhkan. Karena belum tentu kita yang benar, iya kan?

Wednesday, July 2, 2014

Tentang Memilih Presiden

Saya sudah dekat dengan politik sejak masih balita. Iya, di partai yang kadernya suka bawa anak saat kampanye atau long-march itu :) Meskipun demikian, kedua orang tua saya, yang hingga saat ini masih aktif sebagai kader di partai itu, cukup terbuka dan menerima pendapat anak-anaknya yang mulai kritis. Diskusi-diskusi mengenai politik juga sebenarnya sudah sering terjadi sejak saya dan adik-adik saya masih duduk di bangku sekolah. It has been one of our dinner topic. Adik saya yang masih SD aja bahkan sekarang udah bisa diajak ngomongin politik, meskipun kacamatanya masih sempit. Saya sih mikirnya gini, kalaupun saya akhirnya memilih partai dan/atau calon presiden yang sama dengan orang tua saya, saya maunya itu terjadi karena pilihan saya, bukan karena saya ikut-ikutan. Kalaupun pilihannya berbeda, saya juga maunya itu terjadi karena saya punya alasan yang kuat, bukan cuma karena nggak suka sama pilihan orang tua. Selain itu, saya juga senang berdiskusi dengan orang tua saya untuk membuka pikiran mereka, karena saat ini kami memiliki lingkungan pertemanan yang cukup berbeda.

Menentukan pilihan presiden buat saya bukanlah perkara mudah. Pasalnya, nilai-nilai yang saya anut nampaknya hanya bisa terfasilitasi oleh salah satu pihak. Saya suka pemimpin yang pinter bicara dan bisa mempresentasikan dirinya dengan baik, tapi saya juga mau yang track record-nya baik. Dan yang paling bikin galau, saya butuh presiden (beserta tim suksesnya) yang punya concern lebih terhadap pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia, tapi saya juga nggak mau kalau ada orang-orang yang pluralis dan liberalis menjabat bidang-bidang strategis (kalau salah satu calon terpilih). Setiap pasangan capres memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, yang menurut saya cukup berimbang. Tergantung nilai apa yang dianut oleh pendukungnya. Tergantung yang mana yang dianggap lebih penting untuk saat ini.




Karenanya, saya kurang suka sama orang-orang yang terlalu fanatik di pilpres ini. Iya tau, ada bener-bener nggak suka sama kandidat yang lain, tapi jangan sampe jadi nggak fair lah. Jangan sampe pas nonton debat jadi tertutup mata-hati-telinganya, sampe yang dimasukin ke pikiran dan yang dibahas cuma jawaban yang bagus aja. Sekalinya lawan salah ngomong dikit, jadi ejekan seminggu. That's unfair. Oke, saya hargai kalau ada orang-orang yang udah nentuin pilihan dari awal dan mau menyuarakan pilihannya itu. That takes a lot of courage, and I appreciate it. Tapi please, please jangan sampai terlalu buta dalam membela orang lain. Nggak ada orang yang sempurna, not even the president-to-be that you adore. Jangan terlalu sotoy juga dalam mengumbar kekurangan lawan, kalau ternyata memang nggak tau dari kedua sisi. Never judge a person before you know the whole story.

Tapi, kalau dipikir-pikir, terlalu kritis dan banyak pertimbangan juga kadang nggak bagus. Ya gini, kayak saya, butuh berminggu-minggu sampai akhirnya menetapkan pilihan. Ini juga belum yakin 100%, karena kalau nunggu yakin ya nggak akan punya sikap. Penyakit anak psikologi sih ini kayaknya: Terlalu banyak mau, terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak mikir di tengah karena prinsipnya semua hal itu relatif - pake prinsip "ya tergantung" - tergantung dilihat dari sisi mana, tergantung kondisi, tergantung nilai. Sampai akhirnya suka kesulitan sendiri dalam menentukan pilihan. Eh, apa saya aja ya yang kayak gitu? Haha.

Fenomena pilpres ini buat saya menarik banget karena saya bener-bener bisa ngeliat bukti nyata bahwa satu hal yang sama, bahkan satu kalimat yang sama, bisa diinterpretasi berbeda oleh orang-orang yang memandangnya dari perspektif yang berbeda. Dan bahwa benar memang, haters will hate and lovers will love. Banyak banget orang yang milih Jokowi karena cinta mati sama Jokowi dari awal, atau yang milih Prabowo karena benci setengah mati sama Jokowi yang dianggap terlalu "cari muka" dari awal - dan sebaliknya. Nggak peduli deh kalau kandidat yang lain tiba-tiba ngasih jawaban yang bagus, atau kalau kandidat yang didukung tiba-tiba ngasih jawaban yang nggak masuk akal; pokoknya cinta sama si A dan benci sama si B. Saya sih seneng banget sama para pendukung yang masih terbuka dan masih bisa menuliskan kekurangan kandidat pilihannya, atau menuliskan kelebihan pasangan lawan, di blog dan jejaring sosial. It takes even more courage to do that, to see things from the opposite point of view.

Apapun pilihannya, yuk lebih bijak dan lebih menerima pilihan orang lain yang berbeda. Some people choose religion over personal quality; some people choose humbleness; some people choose ingenuity; some people choose track record; and that's fine. Nggak ada yang salah atau bener kok, cuma masalah preferensi pribadi dan perbedaan nilai aja.

Bismillah, semoga kandidat yang terpilih nanti, siapapun itu, bisa memberikan kontribusi nyata untuk memperbaiki kualitas bangsa ini ya!

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...