Saturday, December 29, 2012

At The End Of The Year

I just realized that I haven't really write in this blog for a long time. I'd been too busy with everything. I'd been busy with my undergraduate thesis, my tasks, my nonacademic activities, my family, and everything else. I had been busy juggling things, trying to do everything at once.

By the way, I have finally finished my undergraduate thesis, the one that I'd been doing everyday, even on the weekend and holiday, for the last 4 months. The one that got me frustrated sometimes - not because of itself, but because I had to re-prioritize and put something else aside to be able to finish it on time. Yet the one that I really love doing:



It's not over yet, actually. I still have a comprehensive examination at January 3rd, before I officially become an S.Psi. It is frightening for me, because I always have the fear that I have done something wrong, something stupid, and will do it again while answering the questions given. It happened before in comprehensive exam for KAUP and Pelatihan II, though in the end I know that it's just a stupid anxiety. But still, I will be doing this alone for the straight two hours, and no one will be able to help me answer the question. After all, it is my own research, my own effort (yet with a little help from a lot of people), my own undergraduate thesis.

So my resolution for 2013 is pretty simple: To get out of the comfort zone that I found extremely comfort and lovely. To graduate. To get a job. To be out there, in the real world. To be independent, financially, from my parents; at least until I decided to continue study at the profession program. To be way more mature, because after this, no one will give a damn if I'm 3 years younger than my peers. 

It is actually hard to leave this placed I called a second home. To leave the routine that I've been doing for the last 3 years. To leave all of the people inside that gave another color to my life, like these kind of people: 





It just feels so hard to leave the place where I always feel belong there. It is daunting to imagine, yet very exciting to know that I'm going to try something new.

So dear Allah, here I am, praying. Asking You to make everything fine, as usual. Thank You so much for this year - for the strength You gave me. I know I can't do this without your blessing. Thank You for always making me blessed - more that what I actually deserve to. Thank you for always, always answering my prayer. Please don't get tired of listening and granting.

Friday, November 23, 2012

November Rain

November is all about keeping life balanced and making sure that nothing is missed. It is about making sure that I prioritize the right thing. It is about choosing. And it's getting harder because everyone and everything made sure that they all want to be prioritized.

November is all about learning not to be selfish. To put aside my own interest.

November is all about deadlines. It is about being chased by all of the deadlines. It is about finding a way to complete all of those. 

November is all about raining all day. It is about learning how to get used to it.

November is tough. And I realized that December will be, too. Even more. 

The good part is, November taught me to be way tougher :)

Thursday, November 15, 2012

To Grow, or To Change

Akhir-akhir ini, dunia seakan lagi kompak ngingetin saya kalau waktu berjalan dengan sangat cepat. Saya berulang kali mengulang kata 'God, I'm old' atau 'gila, kita udah tua banget ya!' dan... semacamnya. Pencetusnya banyak: Sahabat saya yang lagi jadi ketua BEM sebentar lagi bakalan abis masa baktinya, masa jabatan saya di PSDM yang juga akan abis (dan bener-bener akan abis), maba yang dulu saya appraisal setiap bulan sekarang udah pake 'selempang' dan lagi kampanye untuk jadi calon ketua BEM, bikin skripsi dan deadline pengumpulan yang udah keluar, interaksi dengan peserta-peserta PDKM, muka-muka di kampus yang udah banyak banget yang asing, usia yang secara resmi bertambah satu tahun, dan momen-momen lain yang terus muncul.

Bukan cuma bikin saya ngerasa tua, momen-momen itu juga bikin saya refleksi - nginget lagi saya versi tiga tahun lalu, ketika lagi struggling untuk adaptasi ke dunia yang baru, yang beda dengan dunia saya sebelumnya. Ketika lagi berinteraksi dengan peserta-peserta PDKM, terutama dengan anak-anak di kelompok yang saya pegang, saya jadi flashback ke momen waktu saya yang ada di posisi mereka. Saya sekagum itu kalau mereka kritis atau berani berpendapat, karena seinget saya, dulu saya bener-bener nggak kayak gitu. Saya juga senyum-senyum aja kalo anak kelompok saya cerita dia nggak berani ngomong kalau di setting forum besar, dan itu bisa jadi penghalang karena dia jadi anak yang 'nggak keliatan'. Saya cuma senyum sambil cerita kalau saya versi tiga tahun lalu juga cupu banget. Ketika lagi jadi peserta PDKM, saya ingat saya minder luar biasa karena kebanyakan peserta yang lain dulu aktif di OSIS atau kepanitiaan di sekolahnya. Saya? Boro-boro. Implikasinya besar banget loh, karena saya memang sebuta itu tentang cara kerja di kegiatan nonakademis. Saya bahkan dulu nggak tau cara bikin rundown. Saya juga nggak pede untuk bicara di depan umum, atau sekedar mengajukan pertanyaan di forum besar, karena takut keliatan bodoh aja - keliatan dulu nggak pernah ikut apa-apa. Segitunya. Saya sempet takut nggak diterima jadi anak BEM - padahal semua orang bilang kalau orang yang aktif itu lebih 'dihargai' daripada orang yang IPK-nya tinggi. 

Kalau dibandingkan dengan beberapa teman saya yang lain, saya yang sekarang mungkin memang nggak ada apa-apanya. Ada yang udah jadi pemimpin organisasi, rajin ikut konferensi internasional, ikut beasiswa kepemimpinan yang kesempatan diterimanya kecil banget, dan masih banyak lagi. Banyak banget orang-orang di sekitar saya yang bikin saya ngerasa kecil. Kecil, banget. Orang-orang yang bikin saya ngerasa bahwa saya belum melakukan apa-apa, padahal 'sisa waktu' saya di kampus udah jadi semakin sedikit.

Tapi, kalau saya berhenti membandingkan diri dengan orang lain, saya sesungguhnya bersyukur dan bangga terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup saya selama tiga tahun terakhir. Being a psychology student helps me grow. It makes me see things from different point of view. It makes me act and think not like a girl my age, because I know that's how I supposed to be - because when you're a psychology student, people expect you to be 'perfect' and to help them with their problem. Saya bener-bener bersyukur karena saya end up di fakultas ini, belajar ilmu ini, dan berinteraksi dengan orang-orang ini. Belajar psikologi bukan hanya bermanfaat karena ilmu saya bertambah, tapi juga untuk pengembangan diri saya sendiri - dan hopefully untuk semua aspek yang berkaitan dengan masa depan saya. BEM juga banyak banget membantu saya untuk jadi lebih berani ngomong, membantu saya untuk merasa 'normal', dan membantu saya untuk mendengarkan dan peduli dengan orang lain. Kalau lagi banyak banget tugas atau kerjaan, saya juga jadi belajar untuk mengatur skala prioritas, bertanggung jawab, dan mencari cara untuk membuat kondisi emosi saya menjadi lebih baik. Knowing your own way to cope is one of the important thing that can help you get through everything, percaya deh.

Eh, jadi kemana-mana. Intinya ya, saya sesayang itu sama kampus saya. Dari semua aspek deh. This is the place where I belong - where I learn about a lot of things about the world. Ketika udah di tahun terakhir SMP dan SMA, saya tau saya bakalan kangen setengah mati sama temen-temen saya setelah lulus, but I'm pretty sure I knew that I won't miss the idea of being in school. I never really missed the idea of learning some math or physic or something else. I didn't, and I won't. But this time, it feels different. I know I will miss my closest friends that mean the whole world to me. But I know I will also miss everything else. Saya akan kangen pelajarannya, dosennya, kegiatan BEM-nya, dan gosip seputar politik kampusnya. Saya bahkan akan kangen sama momen-momen duduk di SC meskipun saya nggak terlalu sering ngelakuin itu. Saya juga pasti akan kangen jadi anak acara dan jadi anak PSDM. Kalau saya udah lulus, semuanya nggak akan jadi sama lagi - bahkan ketika saya kembali lagi untuk kuliah profesi nanti. 

Yah... Ceritanya saya lagi belajar menerima kenyataan kalau setelah ini, beberapa bulan lagi, saya bener-bener harus mencari zona nyaman yang baru. Sometimes leaving the thing that you love the most is the best way to be a better person

Then again, change is good. Or isn't it?

"To grow is to change, and to have changed often is to have grown much." - Cardinal Newman.

Monday, September 24, 2012

Just A Quick Note To Self

Never overdo something, even when you think of it as the most exciting thing to do.
Never overdo something, even when you think of it as something that you really are passionate about.
Never overdo something, even when they said that your hard work and persistence will make you get through anything.
Never overdo anythinganything at all!

Because, really, anything in excess is never good.

It is too early to complain. Yes, it is way too early.
But It's fine, because I know you can bounce back and do better. You can, and well, you kinda have to.

Good luck and do everything in balance, Yas.
You know you can do it!



(I always find self-talking as a helpful method to overcome my anxiety, so I reckon a self-writing will do the same)

Friday, September 21, 2012

Skripsi untuk S.Psi

Sesuai rencana awal, saya bertekad untuk menyelesaikan skripsi semester ini. Agak ngeri sih, mengingat semester ini saya juga harus bikin penelitian kelompok untuk mata kuliah Penelitian Kualitatif dan bikin satu sesi pelatihan psikologis untuk mata kuliah Pelatihan II. Belum lagi tugas-tugas mata kuliah yang lain. Tapi karena kuliah saya juga cuma 12 SKS sehingga saya hanya kuliah tiga hari seminggu, saya kembali menantang diri saya sendiri. Ah, masa sih nggak bisa. Jadi kalau ditanya kenapa mau lulus tiga setengah padahal masih punya 'simpenan umur', selain karena alasan mau kerja-kerja dikit dulu sebelum S2 dan karena sayang harus bayar lima juta seratus ribu rupiah buat semester delapan padahal udah nggak ada kuliah apa-apa lagi, saya juga akan jawab ini: Karena saya ingin membuktikan ke diri saya sendiri kalau saya bisa. Bukan untuk membuktikan keraguan orang lain, tapi untuk membuktikan ke diri saya sendiri kalau saya benar-benar bisa menjalankan hidup yang seimbang versi diri saya sendiri.


Saya dan beberapa dekat saya yang sama-sama jatuh cinta sama parenting kemudian memutuskan untuk ikut payung penelitian dosen saya tentang Parental Self-Efficacy. PSE adalah keyakinan orang tua untuk melakukan tanggung jawab sebagai orang tua—seberapa yakin ia untuk jadi orang tua yang baik. Di penelitian ini, saya ingin mencari tahu korelasi PSE dengan religiusitas ibu. Kenapa? Alasan sebenarnya sih karena saya mau tahu pengaruh positif (manfaat) agama buat kehidupan sehari-hari. Khususnya manfaat yang konkret dan bisa diukur. Kenapa? Supaya orang-orang yang nggak percaya itu bisa terbuka pikirannya, meskipun mungkin hanya sedikit. Supaya mereka yang bilang 'ah, agama nggak penting-penting amat buat hidup gue' bisa tau kalau dibalik semua kewajiban yang harus dijalankan, ada banyak manfaat yang bisa dipetik langsung—kalau memang segala sesuatu yang mereka lakukan di dunia harus bisa ditelaah manfaatnya secara logis. 

Alasan seriusnya apa? Yah, kalau alasan ala-skripsinya mah yang ada di Bab I. Iya, Bab I yang belum selesai padahal ditenggatwaktuin (sama diri sendiri) untuk selesai setidaknya tiga hari lagi. Yang jelas, saya seneng banget karena akhirnya nemu topik yang bisa menjembatani minat pribadi saya. Segala sesuatu yang dilakuin dengan passion pasti akan memberikan hasil yang lebih baik, saya percaya itu. 


Sejauh ini, saya ngerasa semuanya lancar. Saya udah dapet alat ukur buat kedua variabel, meskipun masih harus dialihbahasakan. Seneng banget rasanya karena tes untuk mengukur Islamic Religiosity-nya saya dapetin langsung dari orang yang bikin tes itu, Professor Steven Krauss (Abdul-Lateef Abdullah). Seneng banget karena saya sebelumnya udah sering banget ngirim e-mail ke beberapa profesor yang bikin suatu konstruk atau teori psikologis, dan nggak pernah dapet balesan apa-apa. Eh, giliran buat skripsi, dibales dalam waktu satu jam aja dong—dikirimin item dan panduan skoringnya segala lagi. Begitu saya ajuin beberapa pertanyaan setelah saya baca alat ukurnya, beliau malah ngirimin saya disertasinya. Disertasi yang nggak dipublikasiin di internet sehingga saya awalnya sempat ngerasa putus asa. Disertasi yang bagus banget karena bener-bener bisa nyeimbangin teori psikologi barat dengan Al-Qur'an. Alat ukur yang dia buat di tesis itu setiap item-nya ada landasan ayat Qur'an atau hadisnya! That man is definitely my heroBener kan, masih ada orang yang sebaik itu kok, serendah diri itu, padahal udah Ph.D. 



Meskipun mungkin belum ngerasain bagian susahnya dari bikin skripsi, saya yakin kok kalau saya bisa wisuda Februari 2013. Kenapa? Karena saya lagi mendalami teori self-efficacy, dan menemukan berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa self-efficacy atau keyakinan pada sesuatu berkorelasi positif dengan keberhasilan dalam mengerjakan hal tersebut. Dan satu lagi, yang lebih penting: karena saya berdoa setiap buka puasa dan waktu-waktu yang mustajab lainnya. Kenapa yakin banget sama doa? Karena memang hampir setiap doa yang saya ucapin setiap tahun ketika berbuka puasa di bulan ramadhan selalu dikabulin sama Allah. Yang pasti saya selalu tahu kalau Allah akan selalu mengabulkan doa saya dan akan selalu memberikan yang terbaik buat saya. Yes, I am always blessed  - maybe a lot more that I deserve.











Bismillahirrahmanirrahim. Semoga target yang satu ini bisa tercapai, dan semoga ini memang yang paling baik buat saya.

Doain ya :)

Sunday, September 9, 2012

About The Time Spent With Family

Udah lama banget rasanya kami nggak pergi jauh sekeluarga buat liburan. Terakhir pergi bareng pas Umroh - tapi saya nggak mau nyebut itu liburan karena niatnya memang untuk ibadah, bukan sekedar untuk ngeliat negara atau bangunan-bangunan terkenal yang belum pernah didatangi.

Gara-gara itu, liburan lebaran kemarin kami habiskan dengan pergi ke Palembang, kota kelahiran ibu saya. Supaya liburannya lebih kerasa, kami pergi ke Palembang pake mobil. Kali ini semuanya sepakat, karena adik saya juga udah bisa nyetir mobil, jadi kami nggak perlu khawatir ayah saya kecapean.

Palembang bukan tempat yang pas buat jalan-jalan, percaya deh, karena nggak ada tempat wisata di sana - selain Jembatan Ampera dan wilayah sekitarnya deh ya. Nggak ada pantai, nggak ada gunung, mall yang bagus juga cuma sedikit - itupun sering mati lampu. Yang bikin saya jatuh cinta sama Palembang cuma suasananya yang tetep homey meskipun jauh dari rumah (karena selama di sana kami selalu berkunjung ke rumah saudara atau rumah sahabat-sahabat ibu saya yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri) dan tentu saja... Makanannya! Pempek rebus pinggir jalan yang harganya dua ribu-an tapi tetep lebih nikmat daripada pempek di Jakarta, Pempek tunu dan lenggang tunu yang mangkal di depan kuburan nenek saya - yang makannya pake keringet tapi nikmatnya luar biasa, es kacang merah yang meskipun udah mulai ada di Jakarta tapi belum ada yang pas di lidah, tekwan, model, martabak kari, pempek lagi, dan makanan-makanan lain yang akhirnya bikin saya cuma makan nasi dua kali selama ada di Palembang. Oh iya, sok-sokan berbicara dengan Bahasa Palembang selama ada di sana juga menyenangkan.

Tapi, menurut saya, yang paling berkesan dari perjalanan kemarin adalah kebersamaan dengan keluarga saya. Karena ayah saya sibuk kerja, ibu saya sibuk ceramah dan berorganisasi, saya sama Awwaab juga punya kesibukan nonakademis selain juga sibuk nugas, dan si Fari di pesantren, kami jarang banget bisa ngumpul berenam. Paling waktu berharganya cuma pas makan malem atau pas sahur aja, sambil cerita tentang kehidupan masing-masing di luar rumah.

Selama 13 jam dari Jakarta ke Palembang dan 16 jam dari Palembang ke Jakarta, saya ngerasa banget kalo momen-momen bersama keluarga adalah yang paling berharga dalam hidup saya. Sederhana sih ya, makan lauk yang udah dibawa dari rumah bareng-bareng; oper-operan dan suap-suapan, bercanda bareng, nyanyi bareng kalo lagi dapet sinyal radio yang selera musiknya lumayan bagus, ngaji bareng sambil muter kaset ngaji, dan cerita-cerita tentang hidup masing-masing.


Sederhana, tapi bikin saya bersyukur. Bersyukur sama Allah karena udah ngasih saya keluarga yang bisa bikin saya bahagia di dunia karena nggak pernah ada drama-dramanya, dan insya Allah bisa bikin saya bahagia di akhirat karena tetep bisa ketemu mereka semua nanti di surga - Aamiin.

Oh iya, buat kepentingan *ehem* skripsi, kemarin saya baca jurnal penelitiannya Loren Marks yang judulnya 'How Does Religion Influence Marriage? Christian, Jewish, Mormon, and Muslim Perspectives'. It really is an interesting research and probably the most interesting journal that I've ever read --  maybe because it is a qualitative research so I can read people's opinion--instead of some numbers that simplify everything. Saya bahkan sampai berkaca-kaca bacanya. Kenapa? Karena ada beberapa kutipan wawancara yang kayak gini:

[At prayer time, we say to] the kids, “Let’s quit the TV, and pray, and you go back to the TV later.”. . . [So at] the end of the day I have my kids around me and [I] thank God that they are healthy and safe....My intention [is], I’m caring about my wife and my kids because my God asked me to care about them...my God asked me to do that.
Atau yang satu ini:

Q: Are there any faith practices that hold special meaning for you as a couple?
A: One is Ramadan, because Ramadan is where families come together, eat together, fast together, wake up early in the morning to [break the fast together],...to support you for the day. . . . That’s what we do as a family . . . together.

Kenapa berkaca-kaca? Because it reminds me of my very own family.





Keluarga kecil saya nanti juga harus kayak gitu! Aamiin :)

Friday, August 31, 2012

Another Goodbye

My internship period is over. I cannot believe how fast time flies. I enjoyed every second of it - especially the part when I get to interact with the kids.

I am seriously gonna miss the kids. I will miss talking in English all day long. I will miss helping the kids with their math or spelling. I will miss being called 'miss'. I will miss listening to their naive questions or statements. I will miss telling Ghiffari to be focus, since he got attention problem - or explaining the task to Matthew slowly, since he got partial hearing impairment. I will miss Alifa's story about her interest on horses and answering her questions about my interests as well, or Aisyah's opinion on fashion, or even Naira's complain on her friends. I will miss telling Azkal and Sammy to stop yelling and running, or telling Nayyara to stop following what I just said and to be more confident. I will also miss chatting with Nayla, Levana, Talitha, and Izza.  I will miss the other kids as well: Adit, Regala, Daffa, the other Daffa, Defa, Alisha, Danika, and Jasminne. I will miss them bragging about their new gadgets, or about their overseas trips, or just about their family and themselves. I will even miss them singing Payphone or What Makes You Beautiful - Yes, all day long.

"Miss, nanti kalo ketemu kita lagi jangan sampe lupa nama kita ya!"
"When will you come back here miss? When will you finish college?"
"Why won't you work here anymore?"
"I will miss you so much, Miss!"

Guys, you have to know that I will miss you more. Working with all of you, even just for a month, give a new color in my life. It showed me that I really love working with kids, even those I get to see everyday. I get to practice my English as well - in a very fun way - because I'm sure will be ashamed if my English is worse than yours or if I don't know how to spell some words you asked or don't know about the English translation for some words that you need to write in your article. You guys also taught me to be more patient! Yes, because it needs a lot of patience to be around you guys.

And I feel really sorry for not taking a picture with them at all.

Friday, August 10, 2012

Tentang Pacaran dan Menikah

Melihat rangkaian tweet dari beberapa orang yang saya follow di Twitter yang sedang giat mengampanyekan anti-pacaran (misalnya ini dan ini), saya jadi gatel pengen nulis sesuatu.

Saya nggak mau pacaran.

Karena dididik oleh kedua orang tua yang sangat menjunjung tinggi nilai religiusitas dan karena saya sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu yang juga sangat menjunjung tinggi nilai yang sama, saya tahu kalau saya nggak mau pacaran sejak SD. Cuma ya karena namanya juga masih labil dan kaget dengan dunia luar, ketika masuk SMP dan SMA negeri dengan pergaulan yang bener-bener beda dengan ketika saya masih SD, saya nggak berani bilang ke siapa-siapa, selain ke orang tua saya tentunya, yang selalu ngingetin anaknya untuk menjaga pergaulan meskipun udah nggak di sekolah Islam lagi. Saat itu, saya setakut itu dianggap aneh, dianggap punya pola pikir yang tidak logis dan berbeda dengan pola pikir kebanyakan orang. Ketika SMP dan SMA, saya sibuk mengamati lingkungan dan perlahan-lahan mengikuti apa yang lumrah dilakukan di lingkungan saya. Saya jadi punya dua norma sosial, norma teman-teman dan norma orang tua saya - karena standarnya bener-bener beda. Akibatnya, kalau kualitas dan kuantitas ibadah saya digambar di grafik, saya tau banget pada masa-masa ini pola grafiknya menurun drastis. Di masa-masa itu, meskipun hati kecil saya masih yakin kalau pacaran itu nggak baik, ketika ditanya mau pacaran apa enggak one day sama temen atau keluarga saya (selain keluarga inti tentunya), jawabannya pasti jadi "Kalo bisa sih nggak pacaran, tapi nggak tau juga deh. Kalaupun pacaran nanti aja, kalau udah mau nikah."

Ketika kuliah, entah kenapa saya makin mantap untuk nggak pacaran. Mungkin karena saya sudah gerah ngeliat beberapa temen saya yang sering banget gonta-ganti pacar dan tetep gatel nyari back-up meskipun udah punya pacar yang dirasa cocok. Atau karena denger ada yang bilang, "Nikah? ya nggak mungkin juga lah gue nikah sama dia" ketika ditanya kapan akan melangkah ke jenjang berikutnya dengan si pacar. Atau karena ada yang pacaran dengan orang yang beda agama sambil berkilah kalau pacarannya kan untuk sekarang, bukan untuk nanti. Bisa juga karena saya mulai tau kalo pacaran itu pasti ada bagian 'bandel'-nya. Saya jadi makin yakin kalau pacaran hanya akan menukar waktu saya yang terbuang dengan dosa yang besar. Kalau pacaran (di usia saya) itu ya hanya untuk main-main dan seneng-seneng aja, bukan untuk cari calon ayah atau ibu untuk anak-anaknya nanti. Kalau pacaran itu kebanyakan dilakukan hanya untuk mengisi rasa kosong dan sendiri karena teman-teman yang lain pun kebanyakan sudah punya pasangan. I do feel alone sometimes, and sometimes I wonder how it feels to have someone that I can always rely on. But I'm also fine with being alone as I enjoy being in solitude, and I have my family and my best friends to go to if I want some company - so why do I need a boyfriend right now (other than to accompany me to go to weddings)? 

Akibatnya, ketika di pertemuan Psikologi Keluarga ada satu orang dosen (yang sudah sering masuk televisi dan cukup ternama dalam soal psikologi keluarga dan percintaan) yang bertanya apakah ada yang nggak mau pacaran sebelum nikah, saya langsung mengangkat tangan. Dari sekitar 100 peserta kuliah dari dua kelas, rupanya hanya beberapa orang yang berani mengangkat tangan, meskipun saya tahu, pasti ada lebih banyak yang sebenernya nggak mau pacaran.

"Kamu kenapa nggak mau pacaran?" si dosen bertanya pada saya.

"Karena menurut saya pacaran lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya, Bu. Dan karena orang tua saya nggak pacaran, dan masih baik-baik aja tuh hubungannya sampai sekarang. Bahkan di antara keluarga besar saya, menurut saya orang tua saya itu yang paling sehat hubungannya."

"Emangnya kamu sama kayak ibu kamu? Emangnya suami kamu nanti sama kayak bapak kamu? Emangnya kalo nanti kamu nggak pacaran terus menikah, ceritanya bakal sama dengan orang tua kamu?"

Waduh, panas banget saya rasanya. Ini kok dosennya sensi banget sama yang nggak mau pacaran. Ini kan pilihan, hidup juga hidupnya saya. Tapi karena kalau ditanggapi takutnya ada emosi yang ikutan sehingga saya jadi nggak bisa menyampaikan argumen dengan asertif, saya diemin aja dosennya. Bener aja, setelah itu si dosen membahas kohabitasi dengan gaya santai - seolah-olah itu adalah hal yang benar untuk dilakukan namun memang tidak sesuai dengan norma moral yang berlaku di Indonesia. Setelah itu, saya hanya tersenyum pahit dan mengambil kesimpulan bahwa si dosen ini pengetahuan agamanya pasti dikit banget dibandingin dengan pengetahuan psikologi dan logikanya.

Ada satu hal yang nggak dimiliki sama dosen itu, yang bikin dia skeptis banget sama jawaban dan pendapat saya, yaitu kepercayaan. Percaya sama Tuhan kalau jalan hidupnya akan lebih baik, percaya kalau kita melakukan hal baik pasti akan dibalas dengan yang baik, percaya kalau doa bisa membuat hidup kita jadi lebih mudah untuk dijalani, percaya kalau ada kekuatan besar yang mengatur hidup kita, selain diri kita sendiri.

Saya percaya itu. Orang tua saya percaya itu. Orang tua saya sepercaya itu sampai memutuskan untuk menikah tanpa melihat wajah satu sama lain terlebih dahulu. Iya, ibu dan ayah saya baru pertama kali bertemu saat selesai ijab kabul, setelah resmi jadi suami-istri, sebelum duduk bersama di pelaminan. Ketika ayah saya datang melamar, ia hanya berbincang dengan keluarga ibu saya. Ibu saya cuma ingin ayah saya lolos 'seleksi' dari orang tuanya. 

"Kenapa Ummi sama Abi nggak ketemu langsung? Kan nggak apa-apa kalau ada yang nemenin (maksudnya kalau nggak berduaan aja)? Kalo nanti umi nggak sreg gimana pas udah nikah?" tanya saya waktu itu.

"Kalo soal kualitas, Ummi percaya sama Oma dan Opa. Kalau mereka bilang baik, ya berarti baik. Ummi juga percaya sama ustadz yang menjodohkan, karena pasti menurut dia kami cocok, makanya dijodohkan. Dulu Abi bilang sama ustadznya, 'saya mau cari istri yang bisa menemani saya di akhirat, bukan cuma di dunia.' Lagi pula, kalau Ummi ketemu terus mukanya jelek, Ummi takut jadi mundur semangatnya. Kalau ganteng, Ummi takut niat nikahnya jadi berubah. Eh alhamdulillah Un, dikasih Allah yang ganteng juga."

Luar biasa ya orang tua saya. Kalo sampe segitunya saya nggak yakin bisa ngikutin. Saya tentu saja mau berbincang dulu dengan calon suami saya nanti (kalau misalnya saya juga ngelewatin proses jodoh-jodohan). Insya Allah penampilan nggak akan memberikan pengaruh banyak, tapi saya perlu tahu pola pikirnya. Saya perlu tahu apa yang jadi visi hidupnya, serta nilai-nilai yang dianut. 

Alhamdulillah, rasa percaya yang dimiliki sama kedua orang tua saya dan niat baik untuk melakukan ibadah serta kerja keras yang dilakukan oleh keduanya membuat semuanya jadi lancar, sampai sekarang. Ini yang bikin saya yakin kalau pacaran nggak akan menentukan kualitas hubungan setelah menikah. Yang namanya menikah itu ya harus belajar menyesuaikan diri dan belajar ngalah, bahkan kalau sebelumnya sudah pacaran bertahun-tahun. 

Insya Allah, Allah akan kasih cerita yang sama buat saya nanti. Nggak tau kapan, nggak tau sama siapa, nggak tau gimana ceritanya, tapi saya yakin cerita saya dan keluarga masa depan saya juga akan indah. Indah pada waktunya.

Maka saya selalu berdoa, selesai shalat tahajud, ketika berbuka puasa, dan ketika berada di depan Multazam, karena Allah berjanji akan mengabulkan doa hamba-Nya di waktu/tempat itu. Saya selalu berdoa agar Allah memberikan saya pasangan dan anak yang shaleh dan sesuai dengan segala kriteria yang saya punya - yang semoga tidak terlalu banyak dan masih bisa diterima sama Allah. Saya berdoa agar bisa berkumpul dengan keluarga masa depan saya di saat yang tepat. Saya nggak pernah minta ketemu jodoh cepat, karena saya toh belum mau menikah saat ini. Saya berdoa agar dipertemukan di saat yang tepat, agar juga bisa dilanjutkan dengan tepat. 

Sambil terus berusaha agar menjadi wanita yang baik, karena pria baik itu untuk wanita baik, dan wanita baik itu untuk pria yang baik.

Masih waktu subuh. Tetap kabulin doa saya ya, Allah? :)

Wednesday, August 1, 2012

To Be Around The Kids

It's almost my third week of internship in Cikal, a school with IB curriculum. It's pretty different from what I imagined earlier, actually, because I have to be with year three kids, not with the kindergarten or pre-kindy kids. I don't get a lot of responsibilities either. I just have to help decorating the classroom, observe the kids in year 3A, help them with their worksheet when they can't do it or don't know the english for some words they want to write, accompany them during the library visit or PE time, and stay with them when their parents or drivers haven't picked them up yet.


Anyway, I really enjoy my internship. I actually don't like the way that I treated at first, but I really enjoy observing children, so I guess that's fine by me. After doing the internship, there is one thing that I can conclude: I really, really looooove being around children. Well, especially the one who talks english because it just sounds really cute. These kids are also pretty smart and think critically, because that's how they taught since they were in year one. They are lovely.



Today, a kid asked me about the ID that I wore that said 'intern'.

"Miss, intern itu apa?"

"In bahasa Indonesia, it means 'magang'. Have you ever heard of that word?'"

"No..."

"Well, Um... It means I'm not actually working here. I'm still learning. I'm just gonna be here for like a month."

The kid looked shocked and yell, "just for a month? Why???"

"Because i have to go back to study," I said.

Then another kid comes all of the sudden and hugged me tight.

"Noooo! Don't go!"

I just smiled and said nothing, because I really didn't know what to say to them. It's pretty complicated, I guess.

Then she asked me, "Miss masih sekolah?"

"Aku kuliah"

"Really? But you look like a grown-up!"

"Yeah? Well, It's actually my last year, so I will work soon."

"Will you work here?"

"Yesss, please work here miss!"

I'm really touched, and I can't handle it anymore. I really really want to work here. I know how much I love children and I know I can teach them. I know it's going to be an amazing thing to do. It will also help me to be a better parent in the future, right? Hihi

But let's see, I can't just work here for a year. I won't get the whole experience if I did. But If I worked here for too long, I'm afraid that I will forget my dream, to be a child psychologist. To help kids and their parents with their problems. To build the family clinic of my own, the super-cool one like I saw in some movies.

And I suddenly have no idea about what to do after I graduate. I know one thing for sure: I do want to work with kids. I want to make them grow up better. I want to help them to be a grown-up with a good quality in the future.

I know that I want to be around children all the time, but I still don't know which setting will I choose: a school, or a clinic. I like talking with one kid at a time, listening to their story and trying to understand their point of view - but I also like to talk with a bunch of kinds and see the way they interact with each other. It's a whole different experience. 

I guess I'm in doubt again. I'm just gonna wait for another sign, I guess.


--
Up date: I looked up Cikal's website and found out that they need some school psychologist, and they are required to be child-clinical psychologists, not some educational one like I thought before. So, I guess that was the sign for me, to stick with my plan - to be a child psychologist as soon as I could. And after being one, maybe I could work in school or else. Not by being a teacher, but by being a psychologist. It's a win-win solution, right? Amin, amin! :_)

Sunday, July 29, 2012

Kesempatan

Ramadhan adalah bulan kesempatan. Kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah salah dilakukan. Kesempatan untuk memanjatkan doa - meminta apa saja, berapa pun banyaknya. Kesempatan untuk mendapatkan balasan berlipat. Kesempatan untuk melakukan semuanya kembali dari awal. Kesempatan untuk kembali mengingat Dia. Kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik. Kesempatan untuk mengurangi kegiatan yang tidak memberikan manfaat selain kesenangan bagi diri sendiri. Kesempatan untuk mengesampingkan dunia sebentar. Kesempatan untuk melakukan hal-hal yang dijanjikan dengan keistimewaan-keistimewaan.

Ramadhan adalah bulan favorit saya.

Dan tahun ini, saya berjanji kepada diri sendiri, tidak akan menjadikan bulan ini seperti bulan-bulan lainnya.

Wednesday, June 20, 2012

Tentang Juni Kali Ini

Sudah lama sekali saya libur dan tidak melakukan apa-apa. Tiga tahun punya liburan panjang, saya selalu tahu apa yang akan saya lakuin. Tahun lalu bahkan saya hampir nggak liburan, karena sibuk bolak-balik ke Depok. Tapi sekarang saya decide untuk nggak terlibat di kegiatan kampus yang akan menghabiskan banyak waktu saya.

Akibatnya, saya bener-bener nggak ngapa-ngapain, sampai nanti magang di tengah Juli. Awalnya nyaman sekali, diam di balik selimut seharian, setelah biasanya lebih sering menghabiskan waktu di kampus daripada di rumah. Lama-lama, perasaan 'nggak berguna'-nya dateng lagi. Semua orang sudah mulai magang. Teman-teman saya bahkan ada yang sedang mengabdi atau bekerja di Riau, Kalimantan, dan Papua. Tapi saya masih di titik yang sama - nggak ngapa-ngapain.

Saking nggak ada kerjaannya, saya sampe iseng bantuin ibu saya desain pamflet buat salah satu acaranya. Saya bahkan sampe desain kecil-kecilan buat blog saya. Saking nggak ada kerjaannya, saya ngabisin lima season Grey's Anatomy dalam kurang dari dua minggu.

Oh iya, akhir semester ini saya khawatir sekali sama IPK saya. Munculnya satu nilai mata kuliah tiga SKS yang sumpah-jelek-banget-banget bikin saya down. Aduh, masalahnya insya Allah waktu kuliah saya tinggal satu semester lagi. Setelah ini, kesempatan untuk mendongkrak nilai tinggal 20 SKS lagi. Lalu, seperti biasa, sambil menunggu nilai akhir keluar, saya berdoa. Berdoa, berdoa.

IPK saya semester ini masih bisa naik ternyata. Selain mata kuliah tiga SKS itu, nilai saya yang lain lumayan baik. Nilai mata kuliah empat SKS yang saya suka tapi bikin hidup saya dan teman-teman saya di semester lalu berantakan juga alhamdulillah bagus - sesuai dengan ekspektasi awal saya yang saya kira ketinggian. IPK saya pada akhirnya masih bisa naik, tapi kurang 0,01 dari yang saya targetkan. Iya, setipis itu. Saya sih berbaik sangka aja sama Allah; mungkin Allah takut kalo sekarang IPK saya udah di atas target, saya bakalan lupa dan jelek lagi ibadahnya. Mungkin dikasih ngepas supaya saya masih kenceng doanya. Supaya nggak berhenti usahanya.

Lucu sih ya, bagus-enggaknya nilai saya pasti saya asosiasikan dengan ibadah saya di semester itu, bukan dengan seberapa rajin saya. Buat mereka yang nggak percaya, yang saya lakuin tentu saja terlihat bodoh. Tapi karena saya tau usaha saya di setiap semester sama aja, sama nggak maksimalnya, sama naik-turunnya, sama malesnya, saya tau yang matters adalah doa dan ibadah saya. Mungkin terdengar konyol, tapi toh itu yang saya percayai.

Aduh, saya bener-bener butuh ngerjain sesuatu yang ada hasilnya. Ada ide?

Friday, June 15, 2012

A Love Letter For A Friend

 

Dear, Clarissa.

A few times ago, when I was so busy writing love letters for BEM members, you asked me to write one for you. I never really got the time and maybe I forgot about that when I did. And now that you're in the middle of nowhere at your birthday, I suppose that this is the least that I can get you for your birthday. Because collage and videos are just too mainstream, right?

Well, first of all, I want to congratulate you for officially being an adult - as Papalia, Olds, and Feldman said. God, you're old! Hihi.

I know it's probably everyone else's wishes for you, but I do hope that you will meet a guy who you love and who loves you back anytime soon. I do hope you will meet a right guy - an intelligent guy who is not afraid to be with a smart girl like you. A guy who can make you a better person. A guy who is not drinking nor smoking (yes, it's really important - you can't argue with me!). A guy who loves his God - the same God like yours, of course (ha!). A guy who won't give up easily on you. A guy who is destined to be with you. A decent guy who has a great personality yet can't pick the right jeans nor shoes to wear - so then you will really learn that clothes don't matter. A guy who knows every flaws you have, and still want to be with you anyway. A guy who is not perfect, but is perfect for you.

And then I hope you will also give me the same kind of prayer..... Haha.
You know I take you as you are, but I do hope that you can be a lot more positive and can easily swallow your pride when it's about important matters.

I also wish that you can be a lot tougher than you already are. You know you always have me when you need a friend to talk to, a shoulder to cry on, or just a person that you can yell at and won't be angry or anything. We'll always have each other.



Thank you for being one of my very best friend. Thank you for always telling me the truth, even if sometimes I don't like it or can't face it. Thank you for standing by me. Thank you for being a good friend for me, and a good academic and nonacademic partner as well. Thank you for being an older sister of mine sometimes. Thank you for showing me another part of this world that I've never known before. Thank you for being the only person who ever said that I was the most mature 16 year old girl that you've ever known, whilst everyone else used to say that I'm super childish, or that I act like a last child or an only child. Thank you for always, always being on my side.

I do hope that we will still be best friends for a loooong time, and that we can finish our undergraduate thesis by the end of this year, graduate together and sit next to each other on the 'cum laude' chairs one or two months after, and be on the professional psychology program next year and also graduate together. And then maybe we will go on with our own lives, and meet again a few years later, practice on our own clinic. You will be in charge for the adults, and I'm gonna handle the children. And we also will make play dates for our children. Oh, and we're gonna be the greatest parent ever, by the way.

I know you will be a somebody someday. You have dreams, and I know someday you will catch them all. Maybe not in the way that you exactly want, but you will do amazing things. You will be amazing.

Oh! And I have another wish for you. That It will really happen soon:


Go have fun in Kalimantan! You will be a much better person if we meet again next month, but please don't change so much, hihi. You will do great there!

Happy birthday again, Clar.

I love you! :-D

Monday, May 7, 2012

A Start

Sibuk memikirkan dua cerita yang kembali terulang. Capek, sampai akhirnya kembali acuh. Benar yang dibilang Mary Alice Young: "In the end, most people decide to only trust themselves. It really is the simplest way to keep from getting burned." So my life goes on. Karena daripada terus berusaha menyelesaikan masalah sendirian dan nampaknya tidak berhasil, saya lebih suka memikirkan cara agar masalah itu tidak mempengaruhi hal-hal yang sedang dikerjakan.

Lalu mulai galau lagi. Galau masa depan. Galau skripsi.

Memantapkan diri untuk mikirin topik skripsi dari sekarang, bikin skripsi awal semester depan, selesai skripsi akhir tahun ini. Mungkin saja perjalanannya akan penuh liku, tapi kalau mereka bisa, kenapa saya tidak? 

Lalu wisuda di awal tahun depan, kerja sebentar, lalu kuliah lagi di pertengahan tahun depan.

Perjuangan menuju impian masa depan semakin dekat saja. Takut, tapi sangat excited di saat yang bersamaan.

"The fact that you know your dreams is not enough. It is not good, living with the fact that you have it in you. You have to think of measures to manifest your dreams and be brave enough to pay the price of it," kata Paulo Coelho.

So this is a start.

"Man proposes, God disposes." 

Then please do dispose this one as I proposed, dear God.

Saturday, March 31, 2012

March Updates

Apa kabar?

Sudah lama sekali ternyata sejak terakhir kali saya menulis di sini. Saya ingat pernah beberapa kali menulis, tapi ujung-ujungnya saya cuma bisa mencet tombol 'delete' yang lama, sampai halamannya kembali kosong seperti semula. Setelah bertahun-tahun percaya kalau menulis merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk nenangin diri, sekarang saya lebih suka nonton film atau tv series sampe saya ketiduran di depan laptop. Kebiasaan yang nggak ada bagus-bagusnya, apalagi kalo sampe lupa waktu - iya saya tau kok. Tapi yasudah lah, untuk urusan yang satu ini ujung-ujungnya saya selalu kalah sama diri sendiri.

So, A lot of things happen in March. For starters, I did two new things I never thought I would ever do. Dua-duanya dilakuin cuma karena ingin menantang diri sendiri, cuma karena penasaran dan takut nyesel kalo nggak nyoba. Bukan karena ingin menang, karena needs of achievement saya memang tidak pernah setinggi itu. Pada akhirnya, tujuan saya tercapai. Saya nggak menang, tapi saya berhasil melawan diri sendiri yang selalu takut untuk keluar dari zona nyaman. Saya tau saya harus pelan-pelan menghilangkan label 'safe-seeker' yang saya pasang sendiri di kening saya.

Bulan ini saya juga mulai sibuk mempersiapkan masa depan. Well, bukan masa depan yang 'itu', tapi masa depan yang menyangkut kehidupan pekerjaan saya nanti. Saya yang belum sepenuhnya bisa nerima kenyataan kalau akhir semester ini sudah harus magang dan semester depan sudah harus mulai bikin skripsi, akhirnya mulai mencari-cari tempat magang dan topik skripsi yang menarik. Topik-topik psikologi selalu bikin saya tertarik dan amazed - tapi saya tahu saya jatuh cinta sama psikologi anak usia dini dan psikologi keluarga. Dua topik itu sebenernya punya irisan yang juga sangat saya minati, parenting. Saya juga tertarik ngegabungin dengan hal-hal seputar agama, maybe because I was raised that way. Tapi entahlah, saya baru ngobrol sama satu dosen jadi belum bener-bener bisa mastiin nanti mau neliti apa. Yang jelas, saya juga tau kalo saya nggak boleh terlalu idealis kalo mau lulus cepet - kalo mau lulus tiga setengah tahun dengan indeks prestasi kumulatif yang juga di atas tiga setengah.

Dosen yang saya ajak ngobrol adalah salah satu dosen favorit saya yang mengajar beberapa mata kuliah yang juga jadi favorit saya. Dia juga yang jadi mental image di pikiran saya ketika saya membayangkan diri saya sendiri beberapa tahun ke depan: A lecturer, a child psychologist, and of course, a mother. Ada beberapa dosen yang saya kagumi karena terlihat begitu pintar, tapi saya lebih senang ngeliat dosen yang keliatan banget sisi nurturing-nya.Yang keliatan banget kalau dia itu, selain wanita karir, juga ibu yang baik untuk anaknya. Simply karena that's exactly what I want to be when I grow up.

Ngobrol dengan si mbak dosen ini, saya jadi makin mantep dengan cita-cita saya itu. Saya makin mantep untuk lanjut profesi klinis anak. It's not gonna be easy, as she told me. But I know it will be worth it. Tinggal banyak-banyak berdoa aja sama Allah supaya ini bener-bener jalan yang tepat buat saya dan supaya jalan menuju ke sana nggak berliku. Ngebayangin hal kayak gini emang selalu bikin saya semangat.

Terima kasih untuk Maret yang menyenangkan, Allah. Saya tunggu kejutan-kejutan dan pintu-pintu lain di bulan April, ya.

Monday, March 12, 2012

Tertampar, Bolak-Balik

Pernah ngerasa ketampar bolak-balik saat dateng ke seminar?

Saya pernah, kemarin. Mungkin sebelumnya udah sering ngerasa ketampar, tapi yang satu ini beda, karena saya bahkan sampe harus nahan nangis - saya nggak mau nangis karena saya duduk di kursi paling depan.

Kemarin saya ikut seminar tentang Al-Qur'an. Lupa judulnya apa, tapi intinya seminar yang bertujuan untuk 'menampar' pesertanya bahwa menghafalkan Al-Qur'an itu mudah. Saya dan keluarga saya datang karena ibu saya jadi salah satu sharer, karena ia bisa menghafalkan Al-Qur'an di tengah aktivitas yang sangat padat. Ada tiga sharer lain: satu orang dokter, satu orang pemilik yayasan Qur'an, dan satu yang paling bikin saya kagum, seorang anak kelas satu SMA yang dari tutur kata dan cara bicaranya terlihat begitu dewasa.

Sebelumnya, saya sudah beberapa kali datang ke acara yang membahas agama seperti ini, karena satu bulan sekali keluarga saya memang memiliki agenda rutin untuk berkunjung ke berbagai masjid yang sedang mengadakan kajian dengan pembicara yang luar biasa. 

Tapi, kemarin, saya benar-benar merasa tertampar.

Tertampar karena melihat ibu saya di depan, bercerita tentang kegiatannya menghafalkan Qur'an setiap hari mulai pukul setengah tiga pagi - karena setelah subuh hingga malam hari kegiatannya sudah sangat padat. Tertampar karena ada sharer yang bilang kalau ia menghafalkan Qur'an pertama kali karena orang tuanya selalu menekankan pentingnya dekat dengan Al-Quran. Tertampar karena ada seorang syekh dari Palestina (yang saya juga lupa namanya), yang bilang kalau Rasulullah pernah berkata bahwa umatnya menyepelekan Al-Qur'an. "Siapa kah umatmu yang menyepelekan Qur'an itu, ya Rasul?" kata sahabat. "Mereka yang tidak membaca Al-Qur'an selama lebih dari tiga hari," kata Rasulullah. Tertampar karena setelah acara selesai, seorang teman ibu saya yang baru berkenalan dengan saya bertanya, "kamu (udah hafal) juga?"

Tertampar karena saya selalu menggunakan alasan 'sibuk' untuk tidak dekat dengan Al-Qur'an. Tertampar karena ibu saya adalah seseorang yang telah hafal Qur'an dan begitu dekat dan begitu cinta dengan Qur'an serta selalu mengingatkan saya dan adik-adik saya untuk juga dekat dengan Al-Qur'an - tapi saya toh lebih memilih untuk tidak mendengarkan. Tertampar karena saya seringkali tidak membaca Al-Qur'an lebih dari tiga hari, karena alasan yang sama, kesibukan. Tertampar karena hafalan saya tidak bertambah sejak saya lulus SD.






"Kalau tidak mau membaca Qur'an karena besoknya ada ujian atau karena sibuk dengan pekerjaan, itu namanya su'uzhan sama Al-Qur'an, seakan-akan dengan membacanya berarti akan menyebabkan nilai kita jelek atau menyebabkan rezeki kita akan berkurang."

"Kita harus menjadikan Qur'an sebagai sahabat kita. Perlakukan ia seperti kita memperlakukan sahabat kita: memberikan waktu utama (bukan waktu sisa) untuknya, dan tidak malu memperlihatkannya ke orang lain, di mana saja."

Kemudian saya merinding mendengar semua sharer membacakan beberapa ayat Al-Qur'an. Yang jadi favorit saya justru si anak SMA itu - karena saya suka suara yang berat. Saya jadi mulai  ngaco, bilang dalem hati, saya mau punya suami kayak gitu. Eh terus ketampar lagi, gimana mau punya suami yang hafalannya banyak, kalau saya bahkan dua juz aja dari SD nggak selesai-selesai, bahkan banyak yang hilang karena nggak pernah diulang?

Allah, tolong bantu saya untuk istiqamah sama yang satu ini, ya?

Wednesday, February 22, 2012

To Be Stronger

So this is how it feels, being a sixth-semester student. So this is how it feels to take KAUP (Psychological Test Construction), a course that is pretty popular amongst psychology students - of course not in a good way. I never thought the sixth semester will be this hard, but here I am, surrounded by stacking tasks - when it's only the second week of the term.

The BEM thingy is pretty time consuming too, since we, PSDM, got a lot to do at the beginning of BEM. And since the academic and non-academic tasks are plenty, I found it really hard to be balance and be great at both. I feel tired all the time, and I have no time to watch any of my favorite tv series so far. 

But it wasn't so bad, actually. I enjoy studying Psikologi Keluarga (Family Psychology), and I think I will be enjoying Teori Emosi (Emotion: Theory & Social Application) and Perkembangan Anak Usia Dini (Early Childhood Development) as well. To be honest, despite of the fact that finding literatures is superhard, I've been enjoying KAUP - because I actually found it's exciting to do research. The only problem here is time - If I got more than 30 hours a day, maybe I'd be more thankful about my current life. Maybe I'd think that it's perfect.

Doing BEM-related job is also getting easier because I got a great team that consists of some people who are really fun to work with and really helpful, the one that named Beringas.



I know that I feel extremely tired - but I love what I do. It's weird, but it's true.  Allah said that after every difficulty, there is relief, anyway - so I think I just have to wait until the hard part is over - or until I become stronger that I won't feel that this is hard anymore. 

I just need more power, especially when I want to do a lot more - to develop myself, to enlarge the circle, and to do something new. 

Sunday, February 12, 2012

Sederhana



Katanya, bahagia itu sederhana.

Seperti menulis sambil menyeruput kopi di pagi yang sejuk karena kemarin malam turun hujan.
Atau sekedar berbaring setelah lelah karena sibuk mengerjakan pekerjaan rumah.
Atau mandi dengan air hangat setelah seharian penuh beraktifitas.
Atau menonton tv series favorit.

Atau seperti menghabiskan hari-hari terakhir liburan dengan mengerjakan hal-hal yang disukai.
Hal-hal yang sebenarnya selalu ingin dikerjakan sejak lama, tapi tidak juga bisa dikerjakan karena waktu yang terbatas.

Seperti menghabiskan quality time dengan orang-orang yang disayang.

Ngobrol dan diskusi soal agama atau sekedar bercanda tentang masa depan dengan Umi dan Abi, pergi berdua Awwaab, menjemput Fari, dan bercanda dengan Mawla.



Duduk-duduk sore dengan sahabat-sahabat di kampus, saling bertukar cerita setelah beberapa kali bertemu namun hanya membahas urusan profesional.

Bertemu dengan tim baru - keluarga baru - yang sepertinya akan jadi lingkungan kerja yang sangat nyaman.





Bertemu kembali dengan salah satu tim kepanitiaan kesayangan.





Mendengarkan cerita dari orang lain atau bertemu dengan orang-orang baru selalu jadi hal yang menyenangkan buat saya.


Atau pergi sendiri, menikmati macetnya kota jakarta di dalam bus kota yang sepi penumpang. Menelusuri jalanan-jalanan yang selama ini tidak pernah diperhatikan. Mendaftarkan rute-rute baru ke dalam peta kognitif. Memperhatikan penumpang-penumpang yang lain, yang berasal dari kalangan yang beragam. 

Atau membaca buku setelah lama melupakan kenikmatan membaca karena telah asik dimanjakan oleh media audiovisual. Buku yang serius, mungkin jadi salah satu buku paling serius yang pernah dibaca selain buku-buku kuliah. Buku yang membuka mata dan pikiran.

Atau sekedar membuka situs-situs dan video-video di youtube, belajar cara mengucapkan huruf-huruf dan beberapa kata dalam bahasa Perancis, simply supaya saya bisa menyanyikan beberapa lagu favorit saya.

Mungkin, kalau tidak terlalu sering mengkhawatirkan masa depan, hidup akan terasa lebih menyenangkan.


"Maka nikmat Tuhanmu yang mana kah yang kamu dustakan?" Kata Allah berulang kali, di surat Ar-Rahman.

Saturday, February 4, 2012

Another Fear

'Abis ini mau ke mana, kak?' jadi pertanyaan favorit saya saat saya ketemu senior-senior yang baru lulus sidang skripsi. Ada yang langsung ngerti arah pertanyaan saya, tapi kebanyakan menjawab dengan beberapa aktivitas seperti pulang, makan-makan, atau pergi sama temen. 'Bukan,' saya biasanya me-restate pernyataan saya, 'Maksudnya, dalam hidup. Abis ini mau ngapain?'

Pertanyaan itu saya ajuin, selain karena iseng, karena saya ingin tahu, senior-senior saya yang hebat-hebat ini, yang berhasil lulus 3,5 tahun dengan tetap aktif di kegiatan nonakademis ini, mau jadi apa setelah lulus nanti. Saya ingin tahu, apakah orang-orang yang sebentar lagi akan diwisuda ini udah tau dan mantep dengan masa depannya.

Karena saya masih juga belum yakin. Saya tahu saya mau jadi apa - tapi saya nggak tahu apakah itu pilihan yang tepat dan yang paling baik buat saya, dan apakah saya bisa jadi apa yang saya mau.

Beneran deh, the idea of future always scares me. The idea of (almost) being a senior year student juga. 

It gets worse because it's like everyone's new favorite topic. Di kampus, di whatsapp, di twitter - bahkan di rumah. Mau bikin skripsi tentang apa? Mau jadi apa? Mau langsung kerja atau lanjut S2? Mau kerja kantoran nine-to-five nggak? Mau magang di mana? Mau nikah umur berapa? Udah punya bekal apa aja buat jadi istri dan ibu? 

Terlebih lagi, temen-temen saya sekarang udah mulai merintis karir. Nggak segitunya sih, tapi banyak banget yang udah mulai ngelakuin hal-hal yang sifatnya lebih serius. Atau ngerencanain untuk ngelakuin hal-hal yang sifatnya lebih serius, secepatnya. Saya? Saya masih terjebak di zona nyaman yang sama. I'm grateful to be in a place where I'm needed the most, actually, dan so far saya ngerasa saya mengambil keputusan yang tepat - tapi saya ngerasa hidup saya kok gini-gini aja.  

Fakta-fakta serta pertanyaan-pertanyaan dan pembicaraan-pembicaraan yang semi-serius itu bikin saya takut. Karena setelah lulus nanti, saya akan bener-bener jadi orang dewasa yang mandiri, seharusnya. Beda dengan ketika ada di penghujung SD, SMP, atau SMA - di mana yang harus saya pikirin cuma sekolah atau universitas apa yang bagus, dan gimana caranya saya bisa ngelanjutin studi di sana. No, this one is totally different. Kalau saya sudah lulus nanti, rasanya mungkin akan jadi seperti abis dikurung di dalem rumah selama 19 tahun, dan sekarang dibolehin untuk keluar. Atau seperti belajar terbang selama 19 tahun, dan sekarang lagi ada di ujung jurang dan akan didorong, either untuk terbang atau untuk jatuh. Kalau kayak gini (kalau lagi gini aja loh ya), saya suka iri sama temen-temen saya yang masih semester dua - yang bahkan masih adaptasi dan masih nebak-nebak, whether they're already on the right track

But this is life. We cannot undo things - we just have to face it. Saya nggak bisa bohong tapi kalau saya takut. 

Kalau lagi begini, saya lebih seneng stay di rumah. Masak, apa aja. Atau ngobrol-ngobrol sama keluarga. Dengerin cerita Mawla, nguatin Awwaab soal kuliahnya nanti, temu kangen dan diceramahin sama Fari, atau curhat dan diskusi sama Umi dan Abi. Entah lah, tapi mungkin di saat saya masih bingung sama masa depan saya, saya tahu kalau saya nanti akan punya keluarga. Saya akan jadi istri, jadi ibu. Setidaknya, jika saya ngerasa belum bisa nyiapin diri untuk jadi wanita karir dan semacamnya, jadi anak rumahan bikin saya bisa nyiapin yang satu itu, entah dari segi skill memasak atau beres-beres, atau dari segi persiapan mental - dari obrolan santai-tapi-serius sama orang tua saya.

Lagi-lagi ini antiklimaks. Saya cuma lagi bingung dan takut, dan saya butuh tempat untuk menuliskan apa yang ada di pikiran saya. 

Masih satu hingga satu setengah tahun lagi.

Nggak ada lagi yang bisa saya lakuin selain berdo'a supaya semuanya akan jadi baik-baik saja, seperti biasanya.

Allah, tetep bantuin saya, ya. Tetep dampingin saya supaya selalu ada di jalur yang benar. Tetap pilihin yang paling baik buat saya, ya.

Wednesday, January 18, 2012

About The Perfect Dream

Some of my friends are now in a relationship with a guy who actually is not their type. They said they wanted to be with a religious, not overprotective, smart, or neat guy - while their current boyfriends are far from those criterions.

My mom once said that we can't say that we really don't want to be with some kinda guy - because they might be our future mate. My auntie didn't want a guy who smokes, until she met my uncle and fell in love and suddenly didn't remember about the smoke thing. My mom herself didn't want to be with a Padangnese guy, but she eventually ends up with my dad, a Padangnese guy, though he's not following any of the tradition that my mom thinks are ridiculous. Besides the race, I think my dad is perfect for my mom - in fact, I think they are perfect for each other - and they could win a trophy for one of the best couples that ever existed.

That makes me think.... Are the lists made only to make us daydream? Is it impossible to meet a guy who has everything that are on our lists? Can we be with the kind of person that we plan and we want to spend our life with? Can we? Can I?


Like almost every single person that I have known, I have a list – some criterions – some things that could make me be in love. Those might be similar from my dad – well, I kinda believe that every girl wants to marry a guy who is like her dad, anyway. I will write down the list because I want the future me to read it back, so that I could remember what I want when I was this young and didn't know anything about life.

The list starts with the most important thing: religion. My future husband should be the one who can make me a better person, who can guide me to the right way, who can help me dicipline my future kids based on what is taught by our religion, and simply who can read Quran well and beautifully. He has to be a good Muslimin every aspect.

He also has to be smart. Being smart isn't always about grade – it is more than that. It could be the broad knowledge, or the good problem solving skill, or the ability to see things from different point of view. In my opinion, smart people are easy to fall in love with, are the right person to talk to when we had problems to be solved, and could plan the future well. Happiness isn't always about money, but we need money to fulfill our needs. That's why I want to be with a guy that has bright future – at least he is planning to have a bright future and will try hard to make that happen. I don't need a guy who is very rich because of his father or family - I just need one who is a hard worker and know what to do in his life. It's not that I'm a materialist, I am just a realist.

I can't fall in love with a guy who is really handsome yet doesn't have some great quality. I mean, physical appearance is not so important for me. But of course, it would be nice if he's good looking or charming, although it's really subjective. And though he's religious, I want him to still care about his appearance – he has to know how to dress well and appropriately, though he doesn't have to know fashion. I’m the kind of person who doesn’t agree with the saying ‘Don’t judge a book by its cover.’ I do judge a book by its cover. It’s normal, because that’s why we got eyes, and that’s why graphic designers are for. But I do believe that the judgment cannot only be made by how it looks – it has to consist by a lot of other things. Before reading a book, it’s okay to judge it only by its cover – but after finish reading it, the cover become not as important as the story, the language, and everything else anymore.

Besides those, the guy has to be connected to me in some way. It's an uncertain and an unexplainable thing, which kind of person that we can connect with. That we have chemistry with. We just know.

Those things are important for me. I can't fall in love with some guy who doesn't have those qualities, I can assure you that. That's why it's not easy for me to fall in love with a guy. I always want much. I'm a perfectionist.

I even have some more criterions. It's not rigid, but it would be nice if my future husband could also have those. First, because I want a guy with different point of view, it would be nice if he's very logical. My mom and dad are a great couple, and I guess one of the reason why is because they complete each other – my mom is very social and my dad is very logical. That's why I think it would be even better if my future husband study things that are pretty different from me – maybe economy, or engineering. I also want to be with a guy who loves his mother and have siblings. Having siblings, especially younger ones, will teaches us how to be patient, to be a good role model, to be fair, and to share. A guy who has a younger sister is even better - because it will also teach him how to protect someone they love unconditionally. Last, I want to be with a guy who isn't looking for a girlfriend who he can have fun with  - but is looking for a wife-to-be instead, who he can spend his entire life with.

Yes, I know it's really much to ask. That, and some facts that I mention earlier, makes me wonder: could I meet and be with that guy?

I know it's still a long way to go. But being around some young-adult friends who are starting to think about their future (including marriage), I also start to think about mine. I always have the fear, to not get the perfect man. I know that whoever person that I would end up with is the perfect guy for me because it's all arranged by Him, but I'm afraid he will be too far from what I always expect. Because I always expect things way too much.

I'm afraid that I won't meet a guy that completed everything that I listed. It gets worse because in college, I only meet few guys, and no one is above my expectations. I'm afraid that that kind of guy is not exist.


Until I met one, few days ago. I know it's too soon to judge, because we only talked about professional things so I don't know anything about him yet. But there is something, something that makes me just know. He completed everything that's on my list. Every single thing! I know he also have flaws because no one is perfect, but I suddenly didn't care about it.

I'm really happy about the meeting, I really am. I can't even lie to my friends that I found that guy interesting. I even told my entire family. But I know we could never meet again, so I expect nothing. That's fine, because meeting him is already a pleasure to me. It opens my eyes, that there is always a person who suits me well. Who has good qualities. Who looks perfect in my eyes. I shouldn't worry too much.

Then another question popped up in my mind: Can I be someone’s perfect girl? Can I complete someone's future-wife criterions? Can I be perfect in someone’s eyes? Am I good enough to be with the perfect guy that I always want?

Then I remember one thing that Allah promises, that good women are for good men and good men are for good women. If I wanted to get a good guy, I have to be a good person as well. I have to complete the list I made myself, and do even better. Much better. I have to work on myself first, before I think about what I want from other people. Get my duties done first, and then I could ask for my rights.

So, while praying to get a perfect mate for ourselves, let's try to be a better person. We want to be good enough or more than good enough to a guy who we think is perfect, don't we?

Now I know what I will pray for everyday, to be good enough for a good guy.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...