Friday, August 10, 2012

Tentang Pacaran dan Menikah

Melihat rangkaian tweet dari beberapa orang yang saya follow di Twitter yang sedang giat mengampanyekan anti-pacaran (misalnya ini dan ini), saya jadi gatel pengen nulis sesuatu.

Saya nggak mau pacaran.

Karena dididik oleh kedua orang tua yang sangat menjunjung tinggi nilai religiusitas dan karena saya sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu yang juga sangat menjunjung tinggi nilai yang sama, saya tahu kalau saya nggak mau pacaran sejak SD. Cuma ya karena namanya juga masih labil dan kaget dengan dunia luar, ketika masuk SMP dan SMA negeri dengan pergaulan yang bener-bener beda dengan ketika saya masih SD, saya nggak berani bilang ke siapa-siapa, selain ke orang tua saya tentunya, yang selalu ngingetin anaknya untuk menjaga pergaulan meskipun udah nggak di sekolah Islam lagi. Saat itu, saya setakut itu dianggap aneh, dianggap punya pola pikir yang tidak logis dan berbeda dengan pola pikir kebanyakan orang. Ketika SMP dan SMA, saya sibuk mengamati lingkungan dan perlahan-lahan mengikuti apa yang lumrah dilakukan di lingkungan saya. Saya jadi punya dua norma sosial, norma teman-teman dan norma orang tua saya - karena standarnya bener-bener beda. Akibatnya, kalau kualitas dan kuantitas ibadah saya digambar di grafik, saya tau banget pada masa-masa ini pola grafiknya menurun drastis. Di masa-masa itu, meskipun hati kecil saya masih yakin kalau pacaran itu nggak baik, ketika ditanya mau pacaran apa enggak one day sama temen atau keluarga saya (selain keluarga inti tentunya), jawabannya pasti jadi "Kalo bisa sih nggak pacaran, tapi nggak tau juga deh. Kalaupun pacaran nanti aja, kalau udah mau nikah."

Ketika kuliah, entah kenapa saya makin mantap untuk nggak pacaran. Mungkin karena saya sudah gerah ngeliat beberapa temen saya yang sering banget gonta-ganti pacar dan tetep gatel nyari back-up meskipun udah punya pacar yang dirasa cocok. Atau karena denger ada yang bilang, "Nikah? ya nggak mungkin juga lah gue nikah sama dia" ketika ditanya kapan akan melangkah ke jenjang berikutnya dengan si pacar. Atau karena ada yang pacaran dengan orang yang beda agama sambil berkilah kalau pacarannya kan untuk sekarang, bukan untuk nanti. Bisa juga karena saya mulai tau kalo pacaran itu pasti ada bagian 'bandel'-nya. Saya jadi makin yakin kalau pacaran hanya akan menukar waktu saya yang terbuang dengan dosa yang besar. Kalau pacaran (di usia saya) itu ya hanya untuk main-main dan seneng-seneng aja, bukan untuk cari calon ayah atau ibu untuk anak-anaknya nanti. Kalau pacaran itu kebanyakan dilakukan hanya untuk mengisi rasa kosong dan sendiri karena teman-teman yang lain pun kebanyakan sudah punya pasangan. I do feel alone sometimes, and sometimes I wonder how it feels to have someone that I can always rely on. But I'm also fine with being alone as I enjoy being in solitude, and I have my family and my best friends to go to if I want some company - so why do I need a boyfriend right now (other than to accompany me to go to weddings)? 

Akibatnya, ketika di pertemuan Psikologi Keluarga ada satu orang dosen (yang sudah sering masuk televisi dan cukup ternama dalam soal psikologi keluarga dan percintaan) yang bertanya apakah ada yang nggak mau pacaran sebelum nikah, saya langsung mengangkat tangan. Dari sekitar 100 peserta kuliah dari dua kelas, rupanya hanya beberapa orang yang berani mengangkat tangan, meskipun saya tahu, pasti ada lebih banyak yang sebenernya nggak mau pacaran.

"Kamu kenapa nggak mau pacaran?" si dosen bertanya pada saya.

"Karena menurut saya pacaran lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya, Bu. Dan karena orang tua saya nggak pacaran, dan masih baik-baik aja tuh hubungannya sampai sekarang. Bahkan di antara keluarga besar saya, menurut saya orang tua saya itu yang paling sehat hubungannya."

"Emangnya kamu sama kayak ibu kamu? Emangnya suami kamu nanti sama kayak bapak kamu? Emangnya kalo nanti kamu nggak pacaran terus menikah, ceritanya bakal sama dengan orang tua kamu?"

Waduh, panas banget saya rasanya. Ini kok dosennya sensi banget sama yang nggak mau pacaran. Ini kan pilihan, hidup juga hidupnya saya. Tapi karena kalau ditanggapi takutnya ada emosi yang ikutan sehingga saya jadi nggak bisa menyampaikan argumen dengan asertif, saya diemin aja dosennya. Bener aja, setelah itu si dosen membahas kohabitasi dengan gaya santai - seolah-olah itu adalah hal yang benar untuk dilakukan namun memang tidak sesuai dengan norma moral yang berlaku di Indonesia. Setelah itu, saya hanya tersenyum pahit dan mengambil kesimpulan bahwa si dosen ini pengetahuan agamanya pasti dikit banget dibandingin dengan pengetahuan psikologi dan logikanya.

Ada satu hal yang nggak dimiliki sama dosen itu, yang bikin dia skeptis banget sama jawaban dan pendapat saya, yaitu kepercayaan. Percaya sama Tuhan kalau jalan hidupnya akan lebih baik, percaya kalau kita melakukan hal baik pasti akan dibalas dengan yang baik, percaya kalau doa bisa membuat hidup kita jadi lebih mudah untuk dijalani, percaya kalau ada kekuatan besar yang mengatur hidup kita, selain diri kita sendiri.

Saya percaya itu. Orang tua saya percaya itu. Orang tua saya sepercaya itu sampai memutuskan untuk menikah tanpa melihat wajah satu sama lain terlebih dahulu. Iya, ibu dan ayah saya baru pertama kali bertemu saat selesai ijab kabul, setelah resmi jadi suami-istri, sebelum duduk bersama di pelaminan. Ketika ayah saya datang melamar, ia hanya berbincang dengan keluarga ibu saya. Ibu saya cuma ingin ayah saya lolos 'seleksi' dari orang tuanya. 

"Kenapa Ummi sama Abi nggak ketemu langsung? Kan nggak apa-apa kalau ada yang nemenin (maksudnya kalau nggak berduaan aja)? Kalo nanti umi nggak sreg gimana pas udah nikah?" tanya saya waktu itu.

"Kalo soal kualitas, Ummi percaya sama Oma dan Opa. Kalau mereka bilang baik, ya berarti baik. Ummi juga percaya sama ustadz yang menjodohkan, karena pasti menurut dia kami cocok, makanya dijodohkan. Dulu Abi bilang sama ustadznya, 'saya mau cari istri yang bisa menemani saya di akhirat, bukan cuma di dunia.' Lagi pula, kalau Ummi ketemu terus mukanya jelek, Ummi takut jadi mundur semangatnya. Kalau ganteng, Ummi takut niat nikahnya jadi berubah. Eh alhamdulillah Un, dikasih Allah yang ganteng juga."

Luar biasa ya orang tua saya. Kalo sampe segitunya saya nggak yakin bisa ngikutin. Saya tentu saja mau berbincang dulu dengan calon suami saya nanti (kalau misalnya saya juga ngelewatin proses jodoh-jodohan). Insya Allah penampilan nggak akan memberikan pengaruh banyak, tapi saya perlu tahu pola pikirnya. Saya perlu tahu apa yang jadi visi hidupnya, serta nilai-nilai yang dianut. 

Alhamdulillah, rasa percaya yang dimiliki sama kedua orang tua saya dan niat baik untuk melakukan ibadah serta kerja keras yang dilakukan oleh keduanya membuat semuanya jadi lancar, sampai sekarang. Ini yang bikin saya yakin kalau pacaran nggak akan menentukan kualitas hubungan setelah menikah. Yang namanya menikah itu ya harus belajar menyesuaikan diri dan belajar ngalah, bahkan kalau sebelumnya sudah pacaran bertahun-tahun. 

Insya Allah, Allah akan kasih cerita yang sama buat saya nanti. Nggak tau kapan, nggak tau sama siapa, nggak tau gimana ceritanya, tapi saya yakin cerita saya dan keluarga masa depan saya juga akan indah. Indah pada waktunya.

Maka saya selalu berdoa, selesai shalat tahajud, ketika berbuka puasa, dan ketika berada di depan Multazam, karena Allah berjanji akan mengabulkan doa hamba-Nya di waktu/tempat itu. Saya selalu berdoa agar Allah memberikan saya pasangan dan anak yang shaleh dan sesuai dengan segala kriteria yang saya punya - yang semoga tidak terlalu banyak dan masih bisa diterima sama Allah. Saya berdoa agar bisa berkumpul dengan keluarga masa depan saya di saat yang tepat. Saya nggak pernah minta ketemu jodoh cepat, karena saya toh belum mau menikah saat ini. Saya berdoa agar dipertemukan di saat yang tepat, agar juga bisa dilanjutkan dengan tepat. 

Sambil terus berusaha agar menjadi wanita yang baik, karena pria baik itu untuk wanita baik, dan wanita baik itu untuk pria yang baik.

Masih waktu subuh. Tetap kabulin doa saya ya, Allah? :)

5 comments:

Sawitri Wening said...
This comment has been removed by the author.
Sawitri Wening said...

Aah ingin berkomentar...

Mama Dedeeeh curhat dooong...

Kalau gua kebalikannya, Yas. Justru setelah kenal teman2 macam lu dan yang lainnya, paradigma gua soal pacaran dan menikah agak berubah.
Meskipun, gua nggak kontra-pacaran juga. Asal dijalani dgn sehat dan serius (baca: orientasi ke pernikahan) ya sah aja menurut gua.

Justru di keluarga, gua sering ditanyain "sekarang deket sama siapa?" atau "pacarnya kok nggak dibawa ke rumah?". Singkatnya, keluarga gua melihat pacaran sebagai masa penjajakan. Sesuatu yang normal --> Tentu pacaran yang sehat ya.

Meskipun, belakangan setelah gua bilang, "gimana kalau calon pasanganku nggak menghendaki melalui hubungan pacaran. Tapi, maunya langsung menikah?"--> Kepikiran ini karena satu dan lain hal.

Ibu gua bilang, "Nggak apa langsung menikah asal ia berani memberi kepastian ke kamu. Caranya? temui ibu bapak dan sampaikan maksudnya. Pada akhirnya, keputusan menerima ada di kamu juga. Kapan siap untuk menikahnya ada di kalian."

Menurut lu gimana, Yas? Haha. Jadi, Curhat.. Udah usianya mikirin ini mungkin :-D

Unknown said...

Ahaha iya nih ning, gue harusnya belum usianya mikir ginian kali yah, tapi pengaruh lingkungan amat dasyat nih! hahaha #atribusieksternal

Yah, gue sih sangat terpengaruh sama pola pikir kedua orang tua gue. My mother once said, "jangan percaya sama gombalan cowok kecuali dia serius ngajak nikah." It's a matter of different value juga kali yah ning. Jadi kalo menurut lo dan keluarga pacaran serius itu nggak papa ya mungkin emang nggak papa, hihi, asal gimanapun caranya dicoba dijaga supaya lebih banyak keuntungannya daripada mudharatnya (hayo, bisa nggak? mihihihihi)

Anonymous said...

bagus sekali blognya.. salam kenal :D

Unknown said...

Waaah makasih!
Terima kasih juga karena sudah berkunjung! Salam kenal juga :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...