Monday, December 26, 2011

Self-Concept


Beberapa hari yang lalu Adik saya, Awwaab, dapet laptop gratis dari kontes di LaPiazza. Dia dengan impulsifnya ikutan dan seyakin itu akan menang. Di kontes itu, dia nyapa orang-orang yang nggak dia kenal dengan gaya sok kenal, terus direkam sama temennya. Begitu denger ceritanya, saya cuma ketawa, takjub, dan bilang: "kamu hoki banget sih!" sambil sedikit iri. Kemudian, saya nanya ke dia, kenapa dia mau-maunya ikut kontes gituan. Kan malu. Apalagi dia bilang videonya diputer di tengah mall. "Ya karena hadiahnya laptop. Lagian malunya kan sekali doang," gitu jawaban dia. Tadinya saya kira kontes ini cuma diikutin sama sedikit orang, tapi ternyata banyak yang ikutan. Saya makin heran, kenapa dia bisa-bisanya mau ikutan.

Di titik itu, saya sadar. Adik saya mungkin memang beruntung karena di mall yang sebelumnya belum pernah ia datengin itu ternyata sedang ada kontes berhadiah laptop. Tapi bukan keberuntungan yang bikin dia bisa dapet laptop. His courage and his willingness to take risks do. Coba kalau posisinya dituker - saya yang lagi jalan di mall itu. Meskipun yang ikut kontesnya baru tiga orang yang berarti chance saya buat menang cukup besar, saya yakin banget kalau saya nggak akan nyoba. That's because I'm afraid to do something risky. Because I'm a safe seeker. Because I overthink everything.

(Yes, we're not just talking about winning a laptop anymore).

Dan karena saya selalu takut gagal. Takut salah. Takut nggak bisa memenuhi ekspektasi yang dibuat oleh diri sendiri, yang biasanya memang terlalu tinggi karena saya orangnya banyak mau. Ditambah lagi karena saya sering ngebandingin diri saya dengan orang lain. I compare both positive and negative sides, tapi yang akhirnya bener-bener saya pikirin ya perbandingan kejelekan saya dengan kelebihan orang lain. Si ini bisa itu, saya kok enggak. Dia orangnya begini, saya kok enggak. Oh, and I only compare myself with the people I think is relatively better than me. Nggak sehat banget yah, iya saya tau, tapi mau gimana lagi dong.

Saya, yang seumur-umur selalu dapet nilai tinggi di kategori kecerdasan Intrapersonal dari teori kecerdasan ganda-nya Gardner, tiba-tiba ngerasa jadi orang yang sama sekali nggak kenal diri sendiri. Saya bahkan kebingunan untuk nge-list kelebihan dan kekurangan saya, dan nyesel kenapa saya nggak nyatet dari dulu supaya refleksi dirinya jadi lebih gampang buat dilakuin. Self-efficacy saya jadi cepet banget turun. Entahlah, mungkin ini tanda-tanda pre-adult crisis kali yah, though I'm pretty sure that there's no such thing as that.

I still got some time to think. Or, not thinking - as I already overthought almost everything. 

Sunday, December 11, 2011

Tentang Dua Ribu Dua Belas


Sudah bulan Desember, dan saya belum juga tahu apa yang akan saya lakukan di tahun 2012. Sebenernya hanya ada dua opsi besar buat saya – nge-BEM (lagi) atau enggak. Tapi gitu lah, banyak alasan yang bikin saya mikir berkali-kali, buat bilang iya atau enggak – meskipun percakapan dengan beberapa temen bikin saya tertampar kalau saya belum punya cukup alasan untuk bilang enggak. Kalau saya harus nggak jadi orang yang egois untuk hal yang satu ini dan mulai mikir ‘apa yang bisa saya kasih ke orang lain ketika saya sudah mampu untuk memberikan sesuatu’ daripada ‘apa yang bisa saya dapet’. Lagian kalau saya berhenti nge-BEM, saya bakal ngapain? Jadi mahasiswa teladan yang kuliah-pulang-kuliah-nugas? Saya nggak yakin mampu. Tapi kalau nge-BEM lagi, masih ada beberapa hal yang mengganjal saya, baik dari segi personal maupun profesional. Entahlah. Mungkin by the time saya akan punya solusi dari kegalauan ini. Atau mungkin saya akan jadi impulsif untuk bilang iya/enggak? Entahlah. Karena katanya hidup itu adalah apa yang terjadi ketika kita sibuk membuat rencana.



Satu hal yang harus saya ingat (makanya saya tulis di sini supaya someday bisa jadi pengingat) adalah bahwa apa pun yang saya lakukan dalam hal nonakademis tahun depan, akademis harus tetap jadi prioritas utama saya – apalagi karena tahun depan saya sudah akan jadi mahasiswa semester enam dan akhirnya jadi… Mahasiswa tingkat akhir. Ngeri yah? Tahun depan saya sudah akan bikin skripsi. Lalu lulus, kuliah lagi, dan jadi Psikolog Klinis Anak. That’s the plan. Buat urusan yang satu ini, saya harap semuanya bisa berjalan sesuai rencana. Sesuai ekspektasi saya, sesuai yang saya mau. Makanya, saya harus ngeluangin banyak waktu di tahun depan untuk mulai serius mikirin masa depan, mungkin dimulai dengan mikirin topik apa yang sebenernya bener-bener saya suka dan akan saya teliti untuk Skripsi.
        
Saya harus mulai sadar kalau saya sebentar lagi akan lulus dan akan membuat keputusan-keputusan penting yang akan sangat berpengaruh pada masa depan saya nanti.
           
Intinya, tahun depan saya mau jadi orang yang lebih dewasa. Nggak boleh lagi defensive, terus-terusan ngejadiin umur sebagai alasan. Karena ketika sudah lulus nanti, udah nggak ada yang peduli umur saya berapa. Udah nggak ada yang bisa mentoleransi sifat atau pikiran yang kekanak-kanakan lagi. Ini nih yang bikin the idea of ‘lulus’ sampe sekarang masih nakutin banget buat saya. Tapi saya nggak bisa ngehindar terus, ya kan? The future is indeed scary for its uncertainty, but we have to face it anyway.

Saya harap saya bisa jadi orang yang lebih baik tahun depan. Saya harap tahun depan saya bisa dapet banyak pelajaran baru, seperti yang terjadi pada tahun ini. I’ve been through a lot this year, but I got so many things to be learned as well. Saya yakin kalau saya sudah jadi orang yang sedikit banyak berbeda (in a good way) dengan saya yang tahun lalu – dari segi akademis, nonakademis, bahkan hingga personal.

Kalau tahun ini saya bisa, tahun depan juga pasti bisa. Iya, kan?

Tuesday, November 29, 2011

Setelah Berkunjung

Saya menikmati tugas-tugas yang saya dapetin selama saya kuliah di Psikologi. Well, nggak semua sih, tepatnya tugas-tugas yang cukup aplikatif dan berkaitan dengan hal yang saya minati: psikologi klinis anak, psikologi klinis dewasa, atau psikologi pendidikan.

Salah satu tugas yang paling saya suka selama saya kuliah adalah tugas yang baru-baru ini saya kerjakan: Kunjungan ke Unit Terapi & Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional di Lido, Sukabumi. Sesuai namanya, tempat ini adalah tempat rehabilitasi bagi para pecandu narkoba. 

Sebelum datang ke sini, saya dan beberapa teman saya merasa cemas. Deg-degan. Yang ada di pikiran saya, tempat ini bakalan kayak penjara. Jorok. Serem. Penuh orang-orang bertato. Semacam itu lah ya. Apalagi tugas ini juga mengharuskan kami untuk mewawancara satu mantan pecandu yang masih menjalani program rehabilitasi. Gimana kalau nanti salah ngomong? Gimana kalau nanti respondennya ngerasa nggak nyaman dan nggak mau cerita? 

Tapi ternyata tempatnya bener-bener nyaman. Fasilitasnya lengkap dan terawat. Residennya ada sih yang serem, tapi mostly mereka ramah-ramah kok (terutama yang udah di sana beberapa bulan atau tahun ya, karena kami sama sekali nggak liat residen yang baru masuk). Tapi bukan itu yang bikin saya kagum. Saya lebih kagum lagi ketika tau sistem di sana. Semuanya terkonsep dengan rapi dan sangat psikologis, bikin saya bertanya-tanya, siapa otak di balik semuanya. Misalnya aja, konsep operant conditioning yang sangat diterapin di sini. Residen yang ngelakuin pelanggaran, even as simple as nggak ngancingin baju atau lupa nyebut nama saat ngomong, akan dapet hukuman setelah ia ngaku kalau salah, meskipun bentuk hukumannya misalnya hanya harus menggandeng tangan mentornya seharian atau harus nempelin kertas bertuliskan 'nama saya X' di punggung. Atau peraturan yang mengharuskan residen yang udah sampe tahap re-entry (tahap terakhir dari program rehabilitasi) untuk pulang ke rumah setiap dua minggu sekali, supaya ketika benar-benar keluar dari program, mereka nggak kaget dan jadi pecandu lagi. Atau tulisan-tulisan di dinding ruangan berisi term-term dalam bahasa Inggris yang beberapa di antaranya merupakan jargon-jargon psikologi. Atau kata-kata motivasi yang juga di pasang di dinding, salah satunya kira-kira begini tulisannya: "recovery is like cycling; once you stop, you fall."

Pelajaran yang saya dapet selama ngambil mata kuliah Psikologi Adiksi ternyata cukup berguna untuk merubah pola pikir saya terhadap pecandu. Di awal kuliah, Mbak Dani, dosen yang juga psikolog adiksi yang sangat ahli di bidangnya, menekankan kepada kami kalau dalam sudut pandang psikologi, adiksi adalah perilaku maladaptif - bukan dosa atau penyakit; meskipun adiksi tertentu bisa saja memang menyalahi aturan agama dan bisa saja menimbulkan penyakit. Hal ini ternyata sangat berpengaruh saat saya berinteraksi langsung dengan salah satu residen di sana. Saya sama sekali nggak nge-judge kalau si mas ini dosa atau penyakitan atau apa, saya malah tertarik dengerin cerita dia. Saya segitu ingin tahunya, apa sih yang bikin dia adiksi. 

Cerita mas A itu cukup membuka mata saya. Saya selalu temenan sama orang "baik-baik," jadi saya selalu memandang dunia dari segi yang baik-baiknya aja. Saya sempet pengen punya temen yang nggak segitu baiknya supaya jadi punya responden yang ceritanya seru buat tugas UTS Psikologi Adiksi, tapi setelah dengerin cerita A, saya malah jadi bersyukur

Saya bersyukur karena semua temen saya baik-baik dan nggak ngebawa saya ke hal-hal yang terlalu negatif. Saya bersyukur karena punya orang tua yang nerapin pola asuh yang sangat baik dan seperti nerapin semua teori psikologi yang ada tentang cara mengasuh anak - meskipun mereka nggak pernah tau secara langsung. Saya bersyukur karena orang tua saya bener-bener ngerti agama dan nerapin ajaran agama dalam mendidik saya dan ketiga adik saya. Saya bersyukur karena bisa ngelakuin emotion-focused coping dengan cukup baik sehingga saya nggak pernah se-desperate itu. Saya bersyukur karena saya pun nggak pernah dikasih masalah yang seberat itu. 

Sebenarnya, banyak hal kecil yang bisa saya syukuri setiap hari; kalau saja saya selalu sadar dan ingat untuk bersyukur.





Terus saya jadi ingin ngetawain diri sendiri. Bisa-bisanya saya ngeluh jadi orang yang hidupnya paling berantakan sedunia.

Saturday, November 19, 2011

About Being Such A Mess


I'm a mess. I got so many tasks to do without knowing how to start. It gets worse because my dependence on TV series is getting worse. Those, and few other personal stuffs that have been bothering me as well. I know, I know that I just have to be focus and stop procrastinating and get all these done. But I can't.

Today is supposed to be the 'doing-all-the-things-that-have-to-be-done' day. But I didn't do anything. I just locked myself in my room and watched all the TV series that I'm supposed to watch this week. Oh, and I also cooked for myself. I put fettuccine together with eggs and add everything I want to and made something that I don't even know what to call. But it does taste good, anyway. And tastes fatty, but I don't care because cooking and eating do make my mood better. 

I even decided not to go to have lunch with mom's family. I don't know, I think I just need some time alone, like really alone. I need some break. I need to spend some time with just myself. I need to take off the I'm-so-fun-and-happy mask that I've been wearing all day. 

This posting may get no point, because I actually just need a place to complain. I need a place to tell that I'm now so screwed. That this is the mistake that I made myself because I tend to procrastinate everything and I couldn't be assertive. 

Just ignore it, because I know it will get better eventually, like it always does. Well, help me to pray that it's gonna be just fine like always, will you? 

Wednesday, October 5, 2011

Just Another Happy Ending

Kamaba, satu kepanitiaan yang beberapa bulan terakhir jadi trending topic di kepala saya, akhirnya resmi berakhir. Saya bener-bener nunggu datengnya hari ini, karena saya segitu capeknya - literally and figuratively. Ketika rangkaian acara Kamaba yang seperti nggak selesai-selesai akhirnya benar-benar selesai, saya nggak bisa berhenti tersenyum dan mengucap syukur, sambil diberikan ucapan selamat serta pelukan dari beberapa orang di kampus. 

"Akhirnya berakhir juga penderitaan gue," ujar saya kepada salah satu teman.
"Lah, jadi ini penderitaan?"

Saya tahu teman saya cuma bercanda. Saya juga tahu kalau teman saya tahu kalau saya juga cuma bercanda. Tapi pertanyaan iseng dari teman saya itu cukup buat saya mikir: eh iya ya, kenapa akhir-akhir ini yang saya pikirin cuma tanggal penutupan Kamaba aja, seakan-akan Kamaba bener-bener jadi cobaan buat hidup saya? Loh, kenapa saya cuma inget yang jelek-jeleknya aja?

Sebenarnya kalau saya pikir ulang, ada banyak sekali hal yang harus saya syukuri dari Kamaba. Saya belajar banyak sekali. Mulai dari belajar memimpin tim yang isinya random dan penuh orang-orang hebat, belajar merancang sebuah acara dengan konsep yang diturunin dari teori-teori psikologi, belajar bekerja dengan beberapa orang yang nggak bisa diajak kerja (meskipun ada banyak banget yang helpful dan so cooperative to work with), belajar 'membelah diri', belajar untuk memenuhi ekspektasi orang lain, belajar meregulasi emosi, dan belajar hal-hal lain yang mungkin tidak saya sadari.

Kalau saya pikir ulang, semua masalah-masalah yang saya hadapi, semua air mata yang saya keluarin, semuanya adalah bahan pembelajaran saya untuk menjadi orang yang lebih persisten dan resilien. Untuk menjadi orang yang lebih dewasa. Untuk menjadi orang yang lebih baik.

Dan kemudian, ketika melihat maba-maba psikologi mengucap terima kasih dengan tulus, ketika melihat mereka tersenyum lega, ketika mendengar pernyataan Mas Ivan di depan Maba kalau Kamaba Fakultas Psikologi adalah Kamaba terbaik se-UI, saya tahu kalau yang saya lakukan ini nggak sia-sia.





Meskipun penuh 'tantangan', keputusan saya untuk menjadi PJ Acara di Kamaba nggak akan pernah saya sesali. Saya bener-bener belajar banyak. 

Ini adalah air mata saya yang terakhir untuk Kamaba. Air mata haru, tentu. Air mata lega dan bangga. Bahwa saya sudah melakukan yang terbaik, meskipun belum terlalu baik. Bahwa saya lagi-lagi dikelilingi oleh orang-orang yang begitu suportif. Bahwa saya, lagi-lagi, sangat beruntung.

Makasih ya, untuk kalian yang sudah jadi partner kerja saya. Makasih banget, terutama untuk anak acara yang bener-bener saya sayang, meskipun sering nge-bully saya. Makasih juga untuk teman-teman terdekat saya yang rela saya curhatin setiap kali saya mumet. Makasih untuk semua semangat yang diberikan. Makasih untuk semua ucapan selamat, jabatan tangan, dan pelukan hangat. 

Tuesday, October 4, 2011

To Not Act Childish

Sometimes it would be best to listen to and to still care about our friends' problem when we also have one and also need to be listened to. To laugh at some jokes that we don't even get. To apologize to those who hate us. To smile at those who once hurted us. To nod when someone is asking for our apology.

To make other people feel better. To care more about others instead of ourselves. To be unselfish. To be an adult.

Saturday, October 1, 2011

Friends, Personally & Professionally

I got a lesson from my recent activities, that I concluded when I was having a quality time slash truth time slash casual discussion with Ica, Ume, Ratih, Imbi, and Lunardi. The lesson is that eventhough we have to seperate our professional and personal life, we cannot really seperate them. Maybe it's subjective, but that's how I honestly think. I cannot forgive those who are my friends yet stabbing me in the name of professionality, so I won't do that either.

Some people can be your friend but cannot work with you professionally. But there are also some that you cannot even stay friends with after working with them professionally. They might be the one that working so hard without caring anymore.

I will never be like them, I promise. My friend is still my friend, eventhough they are also my opponent, professionally. But the idea of hurting them professionally is just stupid. It would just ruin our friendship, and I'll got no one when my work is done.

My point is, never hurt your friend, even by saying "That's different. This is professional, not personal. He's still my friend, yet I have to punish him because of professional matters." Never do that, because a good friend is worth more than anything. A good friend will make you much better when you got a problem. They will make everything easier. You sure don't want to lose them. Well, if you had one. Whoops.

Sunday, September 25, 2011

The Festival

Saya nggak bisa nulis panjang lebar karena sekarang saya capek luar biasa. Intinya, saya seneng banget rangkaian acara Psychology Festival yang pertama bisa berjalan dengan lancar, terutama tentu Introduction To Psychology, acara yang saya pegang. Banyak sekali feedback positif yang masuk karena acaranya bener-bener lancar dan nggak ada hambatan yang berarti.

Bukan berarti perjalanan saya di Psyfest mudah dan tanpa cobaan. Ada kok beberapa cobaan kayak beberapa pengisi acara yang tiba-tiba bilang nggak bisa dateng pada H-1 atau H-2 acara. Ada juga beberapa masalah lain yang nggak bisa saya tulis di sini. Tapi ketika pernah ngerasain badai, hujan yang deras sekalipun tidak akan lagi terasa berat. That's exactly what I feel. Ketika sebelumnya saya dapet hantaman yang begitu berat, sedikit masalah dan pengorbanan nggak lagi berarti apa-apa.

Pekerjaan saya di ITP selama dua hari ini juga jadi terasa mudah dan menyenangkan berkat orang-orang ini:



Terima kasih karena membuat segalanya jadi lebih mudah dan menyenangkan, dan simply karena kebanyakan dari kalian bilang kalau ini adalah kepanitiaan yang paling menyenangkan buat kalian. 

Dan akhirnya, saya benar-benar senang karena everything is totally worth it. Ditambah lagi dengan komentar salah satu peserta yang ternyata ikut ITP tahun lalu juga. "Pokoknya ITP tahun ini jauh lebih bagus daripada yang tahun lalu saya ikutin." Pada akhirnya, saya jadi tahu, begini rasanya kalau kerja keras kita dihargai secara positif oleh orang lain. Begini rasanya kalau bisa mempertahankan suasana kerja yang menyenangkan meskipun banyak orang yang panik dan menekan. Begini rasanya bisa puas terhadap performa diri sendiri, meskipun sadar kalau sebenarnya masih bisa lebih baik dari ini.

Dan pada akhirnya, saya senang karena satu kewajiban besar saya tahun ini tuntas sudah. Tinggal dua lagi. Tinggal sebentar lagi!

Friday, September 9, 2011

September

Tumblr_lqurh6er7y1qh7wudo1_500_large


Bulan September ternyata akan jadi bulan yang berat untuk saya. Kesibukan di kampus akan jadi luar biasa, ditambah dengan kedua pembantu saya yang bisa-bisanya tega nggak balik lagi, padahal salah satu dari mereka udah kerja sekitar tujuh tahun.

Doain saya, ya, supaya bisa membagi konsentrasi dengan baik. Supaya bisa ngerjain semuanya dengan baik. Supaya bisa nggak ngecewain diri saya sendiri dan orang lain.

Doain saya ya, supaya nggak kehilangan semangat. Supaya saya nggak jenuh, dan tetap semangat. Untuk Kamaba, Psyfest, BEM, dua puluh dua SKS yang saya ambil semester ini, dan setumpuk pekerjaan rumah tangga. 


Saturday, September 3, 2011

To Be A Good Cook, And Even A Better Mom

Beberapa hari ini, saya sedang menikmati hobi yang hanya bisa saya lakukan sekitar dua minggu dalam setahun: memasak.

Di postingan terakhir saya memang banyak mengeluh. Even Charlotte York ngeluh dan butuh time out kok meskipun dia se-sayang itu sama anak-anaknya. Agak aneh emang analoginya, but you got my point, right? Ngurusin pekerjaan dapur emang melelahkan dan nggak ada habisnya; selalu ada piring kotor, makanan yang harus dimasak, peralatan masak yang kotor, dan piring kotor lagi setelah selesai jam makan - begitu terus selanjutnya. But everything is worth it when you see the look of your family's face when they are eating the meal you cook, and saying that you're a good cook.

Karena belakangan akrab banget sama dapur, saya jadi ngeh kalo masak-memasak akan jadi lebih seru kalo ada beberapa peralatan masak yang di-upgrade. Beli baru maksudnya. Misalnya aja, karena wajan di rumah saya udah mulai suka lengket kalo dipake, alangkah indahnya dunia kalau ada wajan baru yang dari teflon.

Tapi terus saya mikir, ngapain juga saya minta beliin wajan mahal-mahal, toh nanti kalo mbak saya pulang saya udah males ke dapur lagi. Toh nanti kalo udah mulai sibuk di kampus udah nggak sempet masak lagi.

And then it hits me.... What if I always become 'too busy' for my whole life? What if I don't have time to cook for my family? Bayangin aja, abis ini saya S2, terus abis itu kerja (nulisnya sambil bilang 'Amin'). Gimana kalo nanti saya jadi ibu-ibu yang kalo pembantunya nggak pinter masak lebih prefer buat beli makanan di luar terus? Gimana kalo anak saya nanti cerita ke temennya kalo ibunya jarang banget masak? Gimana kalo saya jadi nggak bisa ngajarin anak-anak saya buat masak (dan shalat serta ngaji, seperti yang udah saya tulis sebelumnya)? Gimana kalo anak perempuan saya nanti bahkan sampe nggak bisa masak nasi tanpa rice cooker?

Jadi ibu yang baik dan sempurna buat seluruh anggota keluarga emang nggak gampang. Nggak akan pernah gampang. Apalagi buat working moms - nggak akan gampang buat bagi perhatian untuk urusan kerjaan dan urusan rumah. Mungkin saya harus belajar dari sekarang. Mungkin saya harus lebih peduli sama urusan rumah, sesibuk apapun saya di kampus.

(Calon suaminya aja belum ada, udah mikirin ginian, coba.)

Thursday, August 25, 2011

To Be Good, To Get Good

Saya nggak pernah tertarik sama cowok-cowok ganteng yang saya liat di pusat perbelanjaan, di tempat makan, di tempat wisata, atau di tempat lain semacamnya. Well, ganteng sih, tapi kok sayanya biasa aja. 


Temen saya pernah nge-tweet: 'nggak tahan sama cowok yang pake baju koko.' Saya nggak minat nge-retweet kayak temen-temen saya yang lain, karena menurut saya itu juga masih biasa aja. Cowok pake baju koko pas shalat jumat, shalat tarawih, atau pas lebaran? Ah, biasa 


Tapi saya bener-bener nggak tahan sama mereka yang mojok di pinggir masjid sambil baca Al-Qur'an. Lengkap dengan baju koko. Apalagi kalau lagi i'tikaf. Apalagi kalau baca Qur'annya sesuai tajwid dan makhraj yang benar. Apalagi kalau bacanya dengan tartil, dengan suara yang merdu. 





Mereka itu, menurut saya, benar-benar one of a kind. 


Suami idaman. Eh. 


Tapi, seriously, begitu pertama kali ngeliat cowok-cowok dengan Al-Qur'an di tangan saat saya sedang i'tikaf tahun ini, yang ada dipikiran saya pertama kali adalah, 'bisa nggak ya dapet suami yang kayak gitu?'. Dipikiran sederhana saya, yang bisa ngaji dengan baik dan benar (dan dengan nikmat) hanyalah mereka yang benar-benar belajar membaca Qur'an. Mereka yang belajar agama. Mereka yang mencintai Al-Qur'an. Mereka yang mencintai agamanya - dan akan berusaha untuk tidak melenceng dari semua yang diatur oleh agama.  

Pertanyaan yang ada di benak saya itu nggak ada yang bisa jawab, tentu saja. Tapi ibu saya pernah bilang, 'kalau kamu mau dapet calon suami yang kayak gitu, kamunya juga harus kayak gitu.' 

"Bad women are for bad men and bad men are for bad women. And good women are for good men and good men are for good women" - QS An-Nur (24:26) 


Well, I hope I'm good enough to get a good man someday. And I'm on my way to be better, to be a much better person.

Friday, August 19, 2011

Betapa Beruntung

Betapa beruntungnya saya karena ketika ada satu orang yang jahat sama saya, ada banyak orang lain yang begitu baik dan perhatian sama saya.

Betapa beruntungnya saya karena ketika saya menangis tanpa henti selama hampir dua jam, lampu merah di sisi kanan atas handphone saya tidak bisa berhenti berkedip - menandakan ada banyak pesan masuk dari teman-teman terdekat saya, bertanya ada apa, dan kemudian menenangkan saya. Hingga akhirnya saya kembali menangis, tapi kali ini karena terharu, karena ternyata saya begitu bodoh, menangis karena perlakuan satu orang, saat ada banyak orang yang justru berlaku sebaliknya. 

Betapa beruntungnya saya karena ada banyak sekali teman yang memeluk saya, atau merelakan diri untuk saya peluk, karena saya memang membutuhkan pelukan hangat dari banyak orang. Menangis, memeluk orang lain, menulis, dan tidur adalah beberapa hal yang dapat membuat saya lebih tenang - jauh lebih tenang.

Betapa beruntungnya saya saat esoknya saya hanya bisa menekuk wajah karena mood saya masih berantakan, ada banyak sekali yang menghibur saya, melontarkan lelucon-lelucon ringan yang membuat saya tidak bisa berhenti tertawa. 

Betapa beruntungnya saya karena ada banyak sekali orang yang menyemangati saya - bahkan ada beberapa orang yang saya tidak kenal secara personal (dan sejujurnya tidak tahu siapa namanya) yang ikut menyemangati saya dengan kata-kata sederhana yang ternyata berpengaruh buat saya.

Berada di lingkungan seperti ini selalu membuat saya bersyukur. Ada orang-orang yang menyebalkan dan sama sekali tidak asertif dalam menyampaikan pendapat, memang; Tapi ada lebih banyak orang yang peduli dan bersimpati - orang-orang yang menguatkan dan menenangkan saya - orang-orang seperti kalian.






Terima kasih karena, entah disadari atau tidak, kalian semua membantu saya untuk tetap kuat. Setidaknya untuk tetap bertahan pada hari berikutnya, hari di mana saya masih dituntut oleh tetap profesional. Betapa beruntungnya saya karena punya kalian semua. 

(dan maaf karena saya begitu emosional dua hari kemarin)

Saturday, August 6, 2011

About The Word 'Happy'


Every one has their own meaning of 'happiness'. It's indeed subjective. For me, happiness is simply something I feel after doing something good; doing something that has many benefits for others or something not easy that makes me doubted my self in the first place. It's what I feel after doing something I'm good at, or something I really love, or just something, with people I love.

That's why I feel so happy about today. Today was the first day of Kamaba activity. We held a briefing for the freshmen to give them informations about the rules and so. The briefing is not a really hard thing to do to be proud of, actually, but it just went really good - way beyond my expectation. Everyone's just so easy and fun to work with, despite of all the imperfections.

But, to be honest, I felt happy not only after the event. I felt happy earlier, at the rehearsal. I felt happy seeing the preparation. I felt happy seeing everyone wearing our yellow jacket. I felt happy because it feels familiar. It reminds me of how I loved being on the comittee last year. It reminds me how I enjoyed every process of it, every regular meetings and even some sudden ones, every thing.

It makes me realize that no matter how fed-up I am with the routinity - no matter how often I say about needing a break,  I actually am still enjoying this.  I even enjoy the 12-hours meeting I attended until 2 am. You can laugh or see me as a freak, but I learned much from every single meeting. And that makes me happy even more.

And here's another thing that adds my happiness: I still could recite 1 juz of Quran today. It's like having my mom whispered on my head, "See? You can still do it no matter how busy you are, as long as you have the willingness." I really want to be more balance, so this might be a good start. Bismillah.

--
I know that the journey of this event is still so long. We still got PSAF and Prosesi to do. But I'm willing to do my best for this, especially because it might be one of my last contribution at psychology; I might not do this things anymore next year because I have to focus more about my academic thingy - since I will graduate soon (I cannot believe I wrote that!). So, no more complaining, I promise.

I will just pray that everything's gonna be as perfect as it planned to be. And take a good rest because today was really tiring. 

Have a good rest, too. And do more things that make you happy! :) 

Sunday, July 24, 2011

When Your Best Is Not Good Enough




Apa kamu pernah merasa orang-orang di sekelilingmu memiliki ekspektasi terhadapmu yang begitu besar, melebihi ekspektasimu terhadap dirimu sendiri?

Merasa bahwa kamu tidak menjadi kebanggaan mereka, dan justru malah membuat mereka kecewa?

Bahwa mereka seperti selalu mencari celah dan mengungkit-ungkit kesalahanmu, dan seakan melupakan hal baik yang telah kamu perbuat?

Bahwa standar mereka terlalu tinggi; terlalu tinggi untuk kamu ikuti, bahkan untuk kamu mengerti?

Merasa bahwa mereka seringkali membicarakanmu di belakangmu - di depan orang lain; membicarakan bagaimana kamu gagal menjadi seperti yang mereka inginkan, bagaimana kamu membuat mereka sedih?

...Meskipun kamu sebenarnya merasa bahwa kamu sudah melakukan yang terbaik dan di mata orang lain mungkin kamu sudah cukup baik - cukup untuk menjadi kebanggaan mereka?

Pernahkah kamu merasa lelah, hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti mendengarkan omongan mereka, atau malah mulai memberontak?

...Meskipun kamu juga tahu bahwa menurut aturan budaya serta bahkan agama hal itu tidak tepat?

Pernahkah kamu begitu lelah, hingga akhirnya hanya bisa mengangguk-angguk seperti setuju dan merasa bersalah, padahal kamu tidak lagi bisa peduli?

...Sambil mendengarkan musik bervolume keras lewat headset secara diam-diam, saat semua itu terjadi?

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...