Friday, August 31, 2012

Another Goodbye

My internship period is over. I cannot believe how fast time flies. I enjoyed every second of it - especially the part when I get to interact with the kids.

I am seriously gonna miss the kids. I will miss talking in English all day long. I will miss helping the kids with their math or spelling. I will miss being called 'miss'. I will miss listening to their naive questions or statements. I will miss telling Ghiffari to be focus, since he got attention problem - or explaining the task to Matthew slowly, since he got partial hearing impairment. I will miss Alifa's story about her interest on horses and answering her questions about my interests as well, or Aisyah's opinion on fashion, or even Naira's complain on her friends. I will miss telling Azkal and Sammy to stop yelling and running, or telling Nayyara to stop following what I just said and to be more confident. I will also miss chatting with Nayla, Levana, Talitha, and Izza.  I will miss the other kids as well: Adit, Regala, Daffa, the other Daffa, Defa, Alisha, Danika, and Jasminne. I will miss them bragging about their new gadgets, or about their overseas trips, or just about their family and themselves. I will even miss them singing Payphone or What Makes You Beautiful - Yes, all day long.

"Miss, nanti kalo ketemu kita lagi jangan sampe lupa nama kita ya!"
"When will you come back here miss? When will you finish college?"
"Why won't you work here anymore?"
"I will miss you so much, Miss!"

Guys, you have to know that I will miss you more. Working with all of you, even just for a month, give a new color in my life. It showed me that I really love working with kids, even those I get to see everyday. I get to practice my English as well - in a very fun way - because I'm sure will be ashamed if my English is worse than yours or if I don't know how to spell some words you asked or don't know about the English translation for some words that you need to write in your article. You guys also taught me to be more patient! Yes, because it needs a lot of patience to be around you guys.

And I feel really sorry for not taking a picture with them at all.

Friday, August 10, 2012

Tentang Pacaran dan Menikah

Melihat rangkaian tweet dari beberapa orang yang saya follow di Twitter yang sedang giat mengampanyekan anti-pacaran (misalnya ini dan ini), saya jadi gatel pengen nulis sesuatu.

Saya nggak mau pacaran.

Karena dididik oleh kedua orang tua yang sangat menjunjung tinggi nilai religiusitas dan karena saya sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu yang juga sangat menjunjung tinggi nilai yang sama, saya tahu kalau saya nggak mau pacaran sejak SD. Cuma ya karena namanya juga masih labil dan kaget dengan dunia luar, ketika masuk SMP dan SMA negeri dengan pergaulan yang bener-bener beda dengan ketika saya masih SD, saya nggak berani bilang ke siapa-siapa, selain ke orang tua saya tentunya, yang selalu ngingetin anaknya untuk menjaga pergaulan meskipun udah nggak di sekolah Islam lagi. Saat itu, saya setakut itu dianggap aneh, dianggap punya pola pikir yang tidak logis dan berbeda dengan pola pikir kebanyakan orang. Ketika SMP dan SMA, saya sibuk mengamati lingkungan dan perlahan-lahan mengikuti apa yang lumrah dilakukan di lingkungan saya. Saya jadi punya dua norma sosial, norma teman-teman dan norma orang tua saya - karena standarnya bener-bener beda. Akibatnya, kalau kualitas dan kuantitas ibadah saya digambar di grafik, saya tau banget pada masa-masa ini pola grafiknya menurun drastis. Di masa-masa itu, meskipun hati kecil saya masih yakin kalau pacaran itu nggak baik, ketika ditanya mau pacaran apa enggak one day sama temen atau keluarga saya (selain keluarga inti tentunya), jawabannya pasti jadi "Kalo bisa sih nggak pacaran, tapi nggak tau juga deh. Kalaupun pacaran nanti aja, kalau udah mau nikah."

Ketika kuliah, entah kenapa saya makin mantap untuk nggak pacaran. Mungkin karena saya sudah gerah ngeliat beberapa temen saya yang sering banget gonta-ganti pacar dan tetep gatel nyari back-up meskipun udah punya pacar yang dirasa cocok. Atau karena denger ada yang bilang, "Nikah? ya nggak mungkin juga lah gue nikah sama dia" ketika ditanya kapan akan melangkah ke jenjang berikutnya dengan si pacar. Atau karena ada yang pacaran dengan orang yang beda agama sambil berkilah kalau pacarannya kan untuk sekarang, bukan untuk nanti. Bisa juga karena saya mulai tau kalo pacaran itu pasti ada bagian 'bandel'-nya. Saya jadi makin yakin kalau pacaran hanya akan menukar waktu saya yang terbuang dengan dosa yang besar. Kalau pacaran (di usia saya) itu ya hanya untuk main-main dan seneng-seneng aja, bukan untuk cari calon ayah atau ibu untuk anak-anaknya nanti. Kalau pacaran itu kebanyakan dilakukan hanya untuk mengisi rasa kosong dan sendiri karena teman-teman yang lain pun kebanyakan sudah punya pasangan. I do feel alone sometimes, and sometimes I wonder how it feels to have someone that I can always rely on. But I'm also fine with being alone as I enjoy being in solitude, and I have my family and my best friends to go to if I want some company - so why do I need a boyfriend right now (other than to accompany me to go to weddings)? 

Akibatnya, ketika di pertemuan Psikologi Keluarga ada satu orang dosen (yang sudah sering masuk televisi dan cukup ternama dalam soal psikologi keluarga dan percintaan) yang bertanya apakah ada yang nggak mau pacaran sebelum nikah, saya langsung mengangkat tangan. Dari sekitar 100 peserta kuliah dari dua kelas, rupanya hanya beberapa orang yang berani mengangkat tangan, meskipun saya tahu, pasti ada lebih banyak yang sebenernya nggak mau pacaran.

"Kamu kenapa nggak mau pacaran?" si dosen bertanya pada saya.

"Karena menurut saya pacaran lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya, Bu. Dan karena orang tua saya nggak pacaran, dan masih baik-baik aja tuh hubungannya sampai sekarang. Bahkan di antara keluarga besar saya, menurut saya orang tua saya itu yang paling sehat hubungannya."

"Emangnya kamu sama kayak ibu kamu? Emangnya suami kamu nanti sama kayak bapak kamu? Emangnya kalo nanti kamu nggak pacaran terus menikah, ceritanya bakal sama dengan orang tua kamu?"

Waduh, panas banget saya rasanya. Ini kok dosennya sensi banget sama yang nggak mau pacaran. Ini kan pilihan, hidup juga hidupnya saya. Tapi karena kalau ditanggapi takutnya ada emosi yang ikutan sehingga saya jadi nggak bisa menyampaikan argumen dengan asertif, saya diemin aja dosennya. Bener aja, setelah itu si dosen membahas kohabitasi dengan gaya santai - seolah-olah itu adalah hal yang benar untuk dilakukan namun memang tidak sesuai dengan norma moral yang berlaku di Indonesia. Setelah itu, saya hanya tersenyum pahit dan mengambil kesimpulan bahwa si dosen ini pengetahuan agamanya pasti dikit banget dibandingin dengan pengetahuan psikologi dan logikanya.

Ada satu hal yang nggak dimiliki sama dosen itu, yang bikin dia skeptis banget sama jawaban dan pendapat saya, yaitu kepercayaan. Percaya sama Tuhan kalau jalan hidupnya akan lebih baik, percaya kalau kita melakukan hal baik pasti akan dibalas dengan yang baik, percaya kalau doa bisa membuat hidup kita jadi lebih mudah untuk dijalani, percaya kalau ada kekuatan besar yang mengatur hidup kita, selain diri kita sendiri.

Saya percaya itu. Orang tua saya percaya itu. Orang tua saya sepercaya itu sampai memutuskan untuk menikah tanpa melihat wajah satu sama lain terlebih dahulu. Iya, ibu dan ayah saya baru pertama kali bertemu saat selesai ijab kabul, setelah resmi jadi suami-istri, sebelum duduk bersama di pelaminan. Ketika ayah saya datang melamar, ia hanya berbincang dengan keluarga ibu saya. Ibu saya cuma ingin ayah saya lolos 'seleksi' dari orang tuanya. 

"Kenapa Ummi sama Abi nggak ketemu langsung? Kan nggak apa-apa kalau ada yang nemenin (maksudnya kalau nggak berduaan aja)? Kalo nanti umi nggak sreg gimana pas udah nikah?" tanya saya waktu itu.

"Kalo soal kualitas, Ummi percaya sama Oma dan Opa. Kalau mereka bilang baik, ya berarti baik. Ummi juga percaya sama ustadz yang menjodohkan, karena pasti menurut dia kami cocok, makanya dijodohkan. Dulu Abi bilang sama ustadznya, 'saya mau cari istri yang bisa menemani saya di akhirat, bukan cuma di dunia.' Lagi pula, kalau Ummi ketemu terus mukanya jelek, Ummi takut jadi mundur semangatnya. Kalau ganteng, Ummi takut niat nikahnya jadi berubah. Eh alhamdulillah Un, dikasih Allah yang ganteng juga."

Luar biasa ya orang tua saya. Kalo sampe segitunya saya nggak yakin bisa ngikutin. Saya tentu saja mau berbincang dulu dengan calon suami saya nanti (kalau misalnya saya juga ngelewatin proses jodoh-jodohan). Insya Allah penampilan nggak akan memberikan pengaruh banyak, tapi saya perlu tahu pola pikirnya. Saya perlu tahu apa yang jadi visi hidupnya, serta nilai-nilai yang dianut. 

Alhamdulillah, rasa percaya yang dimiliki sama kedua orang tua saya dan niat baik untuk melakukan ibadah serta kerja keras yang dilakukan oleh keduanya membuat semuanya jadi lancar, sampai sekarang. Ini yang bikin saya yakin kalau pacaran nggak akan menentukan kualitas hubungan setelah menikah. Yang namanya menikah itu ya harus belajar menyesuaikan diri dan belajar ngalah, bahkan kalau sebelumnya sudah pacaran bertahun-tahun. 

Insya Allah, Allah akan kasih cerita yang sama buat saya nanti. Nggak tau kapan, nggak tau sama siapa, nggak tau gimana ceritanya, tapi saya yakin cerita saya dan keluarga masa depan saya juga akan indah. Indah pada waktunya.

Maka saya selalu berdoa, selesai shalat tahajud, ketika berbuka puasa, dan ketika berada di depan Multazam, karena Allah berjanji akan mengabulkan doa hamba-Nya di waktu/tempat itu. Saya selalu berdoa agar Allah memberikan saya pasangan dan anak yang shaleh dan sesuai dengan segala kriteria yang saya punya - yang semoga tidak terlalu banyak dan masih bisa diterima sama Allah. Saya berdoa agar bisa berkumpul dengan keluarga masa depan saya di saat yang tepat. Saya nggak pernah minta ketemu jodoh cepat, karena saya toh belum mau menikah saat ini. Saya berdoa agar dipertemukan di saat yang tepat, agar juga bisa dilanjutkan dengan tepat. 

Sambil terus berusaha agar menjadi wanita yang baik, karena pria baik itu untuk wanita baik, dan wanita baik itu untuk pria yang baik.

Masih waktu subuh. Tetap kabulin doa saya ya, Allah? :)

Wednesday, August 1, 2012

To Be Around The Kids

It's almost my third week of internship in Cikal, a school with IB curriculum. It's pretty different from what I imagined earlier, actually, because I have to be with year three kids, not with the kindergarten or pre-kindy kids. I don't get a lot of responsibilities either. I just have to help decorating the classroom, observe the kids in year 3A, help them with their worksheet when they can't do it or don't know the english for some words they want to write, accompany them during the library visit or PE time, and stay with them when their parents or drivers haven't picked them up yet.


Anyway, I really enjoy my internship. I actually don't like the way that I treated at first, but I really enjoy observing children, so I guess that's fine by me. After doing the internship, there is one thing that I can conclude: I really, really looooove being around children. Well, especially the one who talks english because it just sounds really cute. These kids are also pretty smart and think critically, because that's how they taught since they were in year one. They are lovely.



Today, a kid asked me about the ID that I wore that said 'intern'.

"Miss, intern itu apa?"

"In bahasa Indonesia, it means 'magang'. Have you ever heard of that word?'"

"No..."

"Well, Um... It means I'm not actually working here. I'm still learning. I'm just gonna be here for like a month."

The kid looked shocked and yell, "just for a month? Why???"

"Because i have to go back to study," I said.

Then another kid comes all of the sudden and hugged me tight.

"Noooo! Don't go!"

I just smiled and said nothing, because I really didn't know what to say to them. It's pretty complicated, I guess.

Then she asked me, "Miss masih sekolah?"

"Aku kuliah"

"Really? But you look like a grown-up!"

"Yeah? Well, It's actually my last year, so I will work soon."

"Will you work here?"

"Yesss, please work here miss!"

I'm really touched, and I can't handle it anymore. I really really want to work here. I know how much I love children and I know I can teach them. I know it's going to be an amazing thing to do. It will also help me to be a better parent in the future, right? Hihi

But let's see, I can't just work here for a year. I won't get the whole experience if I did. But If I worked here for too long, I'm afraid that I will forget my dream, to be a child psychologist. To help kids and their parents with their problems. To build the family clinic of my own, the super-cool one like I saw in some movies.

And I suddenly have no idea about what to do after I graduate. I know one thing for sure: I do want to work with kids. I want to make them grow up better. I want to help them to be a grown-up with a good quality in the future.

I know that I want to be around children all the time, but I still don't know which setting will I choose: a school, or a clinic. I like talking with one kid at a time, listening to their story and trying to understand their point of view - but I also like to talk with a bunch of kinds and see the way they interact with each other. It's a whole different experience. 

I guess I'm in doubt again. I'm just gonna wait for another sign, I guess.


--
Up date: I looked up Cikal's website and found out that they need some school psychologist, and they are required to be child-clinical psychologists, not some educational one like I thought before. So, I guess that was the sign for me, to stick with my plan - to be a child psychologist as soon as I could. And after being one, maybe I could work in school or else. Not by being a teacher, but by being a psychologist. It's a win-win solution, right? Amin, amin! :_)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...