Saturday, March 23, 2013

Tentang Mengajar dan Belajar

Belum genap satu bulan saya mengajar di sekolah ini. Ketika pertama melangkahkan kaki ke bagian special education, perasaan saya berkecamuk. Ketika itu, saya adalah sarjana baru yang kepalanya dipenuhi teori-teori psikologi, termasuk teori-teori tentang anak dengan kebutuhan khusus. Tapi praktiknya? Berinteraksi dengan mereka saja saya belum pernah. Bagaimana kalau saya tidak sabar menghadapi mereka? Bagaimana kalau mereka semua mengacuhkan saya? Bagaimana kalau saya tidak bisa mendapatkan perhatian mereka? Bagaimana kalau mereka tidak menyukai saya? Duh.

Ketakutan saya mulai hilang ketika berhadapan langsung dengan mereka: empat belas anak yang merebut perhatian saya dengan segera. Ada yang ramah – bahkan terlalu ramah, ada yang terlihat kaku tapi diam-diam mendekati saya sambil membawa majalah tentang kereta dan menceritakan saya segala hal yang ia ketahui tentang kereta, ada juga yang menatap saya dengan tatapan jutek – meskipun minggu berikutnya saya mulai mengenal dia dan mengetahui kalau wajah dan gaya berbicaranya memang seperti itu, meskipun ia sebenarnya sangat baik dan penurut. Empat belas anak ini benar-benar berbeda satu sama lain. Mereka memiliki keunikannya sendiri-sendiri.

Meskipun di sekolah ini saya menjadi ‘ibu guru’, rupanya bukan hanya mereka yang mendapatkan pelajaran dari saya. Saya pun belajar banyak dari mereka. Dari anak-anak ini, saya belajar tentang persistensi dan resistensi – tentang perjuangan dan kegigihan. Sebagai sarjana baru, saya dan teman-teman saya kerap memperbincangkan dunia nyata yang kejam. Dunia nyata itu kejam, penuh tantangan, dan tidak semudah yang kami inginkan. Tetapi ketika melihat anak-anak ini sedang berjuang, saya tertegun. Kalau saya saja merasa dunia ini kejam dan penuh dengan tantangan, bagaimana dengan anak-anak ini?

Bayangkan saja, mereka bahkan harus belajar dan menahan diri mereka untuk tidak tertawa atau senyum-senyum sendiri jika tidak ada stimulus yang jelas, menatap mata lawan bicara, menjawab pertanyaan yang dilontarkan orang lain, bersabar saat menunggu giliran, tidak bergumam di tengah-tengah pelajaran, menyapa orang lain yang dikenal saat berpapasan, dan lain-lain. Mereka harus berusaha keras untuk melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan secara otomatis.

Mereka juga harus berjuang keras untuk melakukan operasi matematika sederhana, seperti penjumlahan, pengurangan, serta mengenali dan memberikan nominal uang yang tepat. Di hari ketiga saya mengajar, saya sudah membuat seorang anak menangis karena saya melarang ia untuk keluar kelas sebelum berhasil menyelesaikan soal yang saya berikan. Anak ini sudah kelas empat SD, tapi masih kebingungan saat melakukan pengurangan dua digit dengan metode susun ke bawah. “It’s really hard, Bu, I can’t do it.” Melihat ia menangis, saya ikutan sedih, dan bahkan hampir meneteskan air mata. Saya hampir saja luluh dan mempersilakan dia untuk meninggalkan ruangan kelas bersama temannya yang lain, tapi guru-guru yang lain serta teori-teori yang saya pelajari ketika kuliah mengajarkan saya untuk tegas dan konsisten dalam menerapkan peraturan. Saya pun terus menambahkan soal karena dia belum juga berhasil, sambil menuntunnya agar berhasil menemukan jawaban yang benar. “Ayo, dicoba lagi!” “Sedikit lagi!” “Satu nomor lagi ya…” Sampai akhirnya, dia berhasil menjawab soal yang saya berikan, serta dua  soal tambahan yang saya berikan untuk memastikan bahwa ia benar-benar telah mengerti. Anak itu tersenyum bangga. “Susah atau gampang, Go?” tanya saya. “It’s easy, Bu!!!” katanya, seolah lupa kalau beberapa menit yang lalu ia baru saja menangis karena merasa tidak sanggup mengerjakan soal yang saya berikan.

Christopher Reeves pernah bilang,
“Anyone can give up, it’s the easiest thing in the world to do. But to hold it together when everyone else would understand if you fell apart, that’s true strength.”
Maka anak-anak hebat ini mencerminkan kekuatan yang sesungguhnya, karena mereka tidak pernah letih untuk mencoba – bahkan ketika guru mereka memaklumi kondisi mereka, karena mengerti bahwa kapasitas yang mereka miliki memang berbeda dengan anak-anak lain yang sebaya.

Dari anak-anak ini, saya juga belajar untuk bersyukur. Saya belajar untuk mensyukuri hal-hal yang Tuhan berikan untuk saya, yang selama ini saya abaikan – seperti kemampuan untuk memenuhi ekspektasi lingkungan tanpa harus mengerahkan usaha yang terlalu banyak. Saya juga belajar untuk mensyukuri hal-hal kecil yang ada di sekitar saya. Saya bersyukur karena Tuhan membuka jalan saya untuk bertemu dengan mereka: empat belas anak hebat, kesayangan saya. Saya bersyukur karena bisa menemukan kebahagiaan-kebahagiaan kecil setiap hari, seperti saat mendengar mereka melontarkan komentar-komentar lucu dengan wajah yang polos, atau kebahagiaan yang lebih luar biasa lagi: ketika melihat mereka berhasil dan ketika melihat mereka menunjukkan performa yang lebih baik daripada ekspektasi yang saya buat sebelumnya.

Suatu sore, setelah berhasil mengikuti semua perintah saya saat ekskul melukis, seorang anak bertanya kepada saya, “Ibu Ayas bangga?”

Anak itu mungkin tidak benar-benar mengerti apa arti kata ‘bangga’ dan seberapa dalam makna kata itu—setidaknya bagi saya, tapi saya tidak perlu berpikir panjang untuk mengangguk dengan yakin. Tentu saja Ibu Ayas bangga sama kalian semua!

 Belum genap satu bulan saya mengajar di sekolah ini. Tapi saya sudah jatuh cinta.

(Ditulis sebagai bagian dari proyek buku tentang pengalaman mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus yang ditulis oleh special education teachers di Sekolah Cita Buana, dalam rangka merayakan Autism Awareness Day 2013).

2 comments:

Anonymous said...

Ceritanya indah, menyentuh, dan inspiratif sekali kak Ayas. :)
Keep inspiring, Kak! :)

Unknown said...

:) makasih gugum!

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...