Friday, May 30, 2014

About Tolerance

LGBT is one of the issues which I find interesting. I grew up in a religious family and was raised with religious and moral values. Since before I was 10, I have known that being gay is a huge sin and is completely wrong - and that their behavior is something that Allah strongly despises. I also knew for a fact that Prophet Luth tried to eradicate homosexuality in Sodom as written in the Qur'an:

"Of all the creatures in the world, why do you approach males, and leave those whom Allah has created for you to be your mates? No, you are a people transgressing (all limits)!" - Prophet Luth A.S. in Quran (26 : 165-166)

As I grew older, I learn more about it. I started to see things from their perspective. I started to understand why some people have sexual or gender disorientation. I learned about it from clinical psychology perspective. I watched a lot of movies and TV programs which include LGBT characters (Modern Family, Shameless, A Normal Heart, Scandal, Glee, The Ellen DeGeneres Show, etc.) and heard them say "I was born this way" or "I am out and proud". I have a few gay friends: the publicly out-of-closet one, the secretly-gay-but-oh-it-is-so-obvious one, and even the currently-in-denial one. Not only gay, I have a friend who's a transgender: A person who thinks that he (or now, she) is trapped in a wrong body. And frankly, I enjoy being friends with them. It is impossible to hate them after knowing them personally. 

Mitchell and Cam from Modern Family, with their adopted daughter

Some people say it's lifestyle, while others say it happens naturally. Some people see it as a sin, while others see it as a personal freedom. Some people choose therapy, while others choose happiness. After all, having different points of view is not a crime. Nevertheless, sadly, we live in a world where most people think that they're right, and whoever choose to not live that way is wrong. And I live in a country where a lot of people can't respect other people's personal choice. Hence, LGBT has become a big issue in Indonesia. In fact, there is no prominent person in Indonesia who is openly gay, as far as I know, although I am sure there are aplenty.

Don't get me wrong: I haven't state anything that shows my support of their behavior. Due to my upbringing, I always see myself as a religious person, even though I realize that I haven't been practicing my religion perfectly, or wholly. As a matter of fact, if someone asked me, "Do you think it's right to be married with a same-sex partner?" I am still going to answer no. In my opinion, being gay, or having a tendency to (or having a hormonal problem that makes someone) appear and act like the opposite sex, is a test from God. Probably one of the most arduous test to pass, as it is onerous to be someone you actually don't want to be. Yet still, it is NOT right to despise gay or transgender people. Condemn their behavior, not them as a person. 

It's not only about what do you think is right; it's about how do you treat someone who you think is not right. It breaks my heart to see how LGBT people are bullied and prejudged. How they are laughed at and loathed. How can we be really sure that we are better than them, so that we can tell bad things about them? How can we be so certain that we're perfect, so that we could point out other people's imperfections?

I wrote this because I have just watched a liberal/feminist Muslim argued about how Islam accepted LGBT. At some point (or most points), I don't agree with her opinion, but the way people reacted to her saddens me. The video are commented by different kind of people, but mostly conservativists. "Go to hell, old lady!", "You despise me and Islam!", "You made me want to laugh at your stupidity!", "Gay people are so sinful and they only do that because of the lifestyle they chose and hence they can change themselves easily if they want to!" and other rude comments are flooding the video page. Rude, unintelligent, and injudicious.

Why can't we live in amity, despite of our diversity? Why can't we be more tolerant in differences? Why can't we coexist? 

And then I found a quote that hits me:

“It's an universal law-- intolerance is the first sign of an inadequate education. An ill-educated person behaves with arrogant impatience, whereas truly profound education breeds humility.” - Aleksandr Solzhenitsyn

It all comes back to education. Ah, my country. My beloved country.

Wednesday, May 21, 2014

Tentang LPDP PK 12

Seminggu kemarin, saya mengikuti Program Kepemimpinan angkatan 12 sebagai seleksi terakhir untuk mendapatkan beasiswa LPDP. Capek, kurang tidur, tapi senang dan puas, adalah kata-kata yang mungkin bisa menggambarkan satu minggu kemarin.





Sebelum PK dimulai, kami telah mendapatkan 11 tugas untuk dikerjakan selama 5 hari. Tugas tersebut kebanyakan berupa tugas kelompok dan angkatan. Penyelesaiannya menjadi sangat menantang karena tugas yang diberikan banyak, waktu per tugas hanya sekitar 1-2 hari, peserta hanya berhubungan melalui dunia maya dan belum pernah bertatap muka, serta kebanyakan peserta memiliki tanggung jawab lain di pekerjaannya, sehingga waktu luang yang tersedia sangat minim. Tapi kami semua tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik, meskipun mungkin hasilnya masih belum begitu baik.

Setelah melewati pra-PK, akhirnya saya bisa bertemu dengan teman-teman satu angkatan saya: 108 orang yang inspiratif dan punya mimpi besar untuk Indonesia. Ada yang ingin jadi presiden, gubernur BI, menteri keuangan, menteri pendidikan, dan lainnya. Dengan semangat tinggi, kami semua mengikuti 7 hari pelatihan dengan terkantuk-kantuk karena rata-rata waktu tidur kami hanya satu jam per hari. Bayangkan!

Selain pelatihan di ruangan, kami juga menghabiskan satu hari di markas TNI-AU di Halim. Kami berlatih baris-berbaris, makan di bawah 5 menit, mengerjakan shalat dan mandi dengan serba cepat, dan lainnya. Intinya, fisik kami yang diuji, padahal sebelumnya kami belum tidur sama sekali. Di sini lah saya belajar untuk mengikuti instruksi tanpa banyak memberikan pertanyaan dan melakukan negosiasi. Saya juga belajar untuk menempa fisik sampai batas maksimalnya.


Di markas TNI-AU, setelah outbound dan latihan baris-berbaris

Program ini bukan tanpa kekurangan. In fact, saya bisa menyebutkan banyak sekali kekurangan dan hal yang tidak semestinya diberikan. Tapi tentu saya nggak akan menyebutkannya di sini karena saya sudah berjanji untuk menjaga nama baik LPDP. However, dibalik semua kekurangan yang ada, tentu ada pelajaran yang bisa dipetik: Melalui pelatihan ini, saya belajar untuk benar-benar mendorong diri saya sampai ke batasnya. You never know how far you can go until you have no choice but to keep going. Saya pesimis banget bisa tidur di bawah 5 jam sehari. Saya tahu banget hasil riset yang membuktikan manfaat tidur untuk otak dan tubuh kita. Tapi ternyata, saya masih sehat meskipun waktu tidurnya sangat minim, dan meskipun berkali-kali ketiduran selama 1-2 detik saat sesi berlangsung.

Oh iya, ini teman-teman sekelompok saya yang hebat-hebat: 13 orang yang luar biasa, yang memiliki banyak ide dari latar belakang ilmu yang beragam. Ada yang dosen, ada yang jurnalis, ada yang peneliti, ada yang jago IT dan ekonomi, dan lain-lain. Dari mereka dan teman-teman seangkatan yang lain, saya belajar untuk tidak takut memiliki mimpi yang beaar untuk saya dan Indonesia, karena saya tidak bermimpi sendirian. 


Ini dia kelompok Integritas: Momo, Jimmy, Arya, Adiza, Jusuf, Dikky, Pingkan, Firman, Ninda, Rizka, Rory, Ayas, dan Bram

Expertise yang sangat beragam, ditambah dengan hasil observasi pribadi yang menunjukkan bahwa 9 orang dari kami (termasuk saya) adalah orang yang cukup vokal, membuat proses diskusi terjadi dengan terlalu seru dan kadang tidak efektif, karena semuanya berpikir dari sudut pandang yang berbeda-beda dan sama-sama ingin didengarkan dan diikuti. Untungnya, pada akhirnya kami bisa berlapang dada dan menerima ide terbaik.

Buat saya, kelompok ini adalah kelompok dengan dinamika kerja yang sangat menarik. But at the end, we did a pretty good job: Juara dua penampilan apresiasi budaya, juara satu outbound games, dan juara dua baris-berbaris.


Salah satu tugas PK: Menampilkan budaya Indonesia di depan jajaran direksi LPDP.

Kelompok saya pun memutuskan untuk tetap mengerjakan tugas pasca-PK berupa SCC (Social Creative Contribution) bersama (meskipun ada 3 anggota kelompok yang tidak bisa ikut). Kami mengunjungi sebuah yayasan dhuafa dan yatim piatu di daerah Bogor, bersama-sama berusaha menumbuhkan semangat berprestasi dan berkontribusi bagi para volunteer di yayasan tersebut. Dari sesi itu lah saya tahu, banyak teman-teman saya yang harus melewati jalan penuh liku untuk bisa sampai ke posisi saat ini. Lagi-lagi saya banyak bersyukur karena jalan hidup saya alhamdulillah lempeng-lempeng aja. Selepas acara ini, saya makin bangga karena bisa mengenal orang-orang hebat yang mungkin akan memegang andil besar bagi masa depan Indonesia.







See you in another continent, dear friends!




Monday, May 19, 2014

About A Secret

Early in the morning, after being absent for a week:

Amree: "Ibu Ayas... I have a secret!"
Ayas: "Ya? What's that?"
Amree: "Nothing!"

Amree: "Ibu Ayas, Ibu Alitta and Ibu Hana have a secret!"
Ayas: "What secret?"
Alitta: "What are you talking about, Amree?"

Shakira: "Ibu Ayas, I draw you!"
Ayas: "Where?"
Shakira: "At school."
Ayas: "I mean, where is the drawing? Can I see it?"
Nicole: "Shakira.... you cannot tell!!"

I guess I know what it is all about. The fact that they're preparing a parting gift saddens me. I mean, it's getting real. I'm excited to know that I'm going to pursue my dream, but leaving them will not be easy. They have become a significant part of my life. I'm sure I will miss them deeply - my favorite students and colleagues.


Monday, May 5, 2014

Sekilas Tentang Autisme

(Tulisan ini ceritanya dibuat untuk menyambut Autism Awareness Day 2013, tapi tertunda setahun dan akhirnya baru bisa di-publish sekarang, hehe)

____________________________________

Meskipun autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang paling populer, bahkan sering digunakan sebagai gurauan sehari-hari, rupanya belum banyak orang yang paham dengan gangguan ini. Kata ‘autis’ tidak ada hubungannya dengan asik memegang HP. Autisme juga tidak sama dengan bertingkah konyol.

Jadi, anak autis itu kayak gimana?

Gangguan Spectrum Autisme (Autism Spectrum Disorder atau ASD) adalah sebuah gangguan perkembangan yang ditandai oleh masalah dalam hal komunikasi, kemampuan sosial, dan perilaku berulang. Masalah dalam komunikasi umumnya ditandai oleh kemampuan bicara yang terlambat, yang merupakan salah satu gejala yang paling awal terdeteksi. Dalam hal sosialisasi, anak autistik biasanya kesulitan untuk memikirkan sesuatu dari sudut pandang orang lain, sehingga seringkali melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku di sekitarnya – atau lebih sederhana lagi, kesulitan untuk berempati atau memahami perasaan orang lain. Kebanyakan dari mereka juga kesulitan untuk berbicara dua arah dan mempertahankan kontak mata ketika berbicara dengan orang lain. Selain itu, masalah perilaku umumnya ditunjukkan oleh kecenderungan untuk melakukan sesuatu secara rutin dan berulang (mereka cenderung kaku terhadap perubahan) dan perilaku yang dilakukan secara repetitif (misalnya menggerakkan tangan atau ‘flapping’).

Karena merupakan sebuah spektrum, gangguan ini sangat beragam. Di DSM (‘kitab’ untuk mendiagnosis gangguan mental) IV, ASD terbagi ke dalam tiga kategori: autistic disorder, Asperger’s syndrome (untuk anak yang high-functioning dan tidak mengalami keterlambatan bicara ketika kecil), dan PDD-NOS (untuk anak yang hanya memiliki beberapa gejala autistik). Tapi, di DSM yang terbaru, ketiga gangguan ini kembali disatukan karena batasannya dianggap tidak terlalu jelas.

Kemampuan anak autistik sangat beragam, tergantung tingkat keparahan gangguannya. Seorang murid saya, sebut saja Ishan, memiliki kemampuan bahasa yang sangat baik. Ia mampu menggunakan istilah kompleks dan dapat menguasai bahasa baru dengan mudah. Namun, ia sering terlalu asik dengan imajinasinya dan harus terus diawasi agar bisa melakukan interaksi sosial yang wajar dengan teman seusianya. Murid saya yang lain, sebut saja Tama, hanya bisa mengucapkan satu sampai dua kata untuk menjelaskan keinginannya (misalnya: “tisu”, “toilet”, atau “rautan”). Ia juga sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan untuk bermain dengan temannya, dan sangat kaku dan perfeksionis. Ia bisa gelisah kalau ada jadwal pelajaran yang tiba-tiba berubah, dan bisa berulang kali meminta izin untuk meraut meskipun pensilnya masih tajam. Meskipun kemampuannya sangat berbeda, Ishan dan Tama sama-sama didiagnosis ASD.




Tapi anak autis itu pinter kan ya? Autis tuh karena kepinteran kan ya?

“Anak autis kan pinter” adalah salah satu rumor yang paling sering saya dengar mengenai ASD. Betul memang, terdapat beberapa individu autistik dengan tingkat inteligensi di atas rata-rata (misalnya Temple Grandin). Namun, statistically speaking, berbagai hasil penelitian yang saya baca secara konsisten menunjukkan bahwa 70% anak dengan ASD juga mengalami gangguan inteligensi (IQ di bawah rata-rata). Selain karena gangguan inteligensi, anak ASD kerap memiliki masalah dalam hal akademis karena kemampuan verbal mereka yang terbatas. Mereka bisa saja pandai berhitung dan bisa menyelesaikan soal dengan cepat karena telah di-drilling, namun kebanyakan anak dengan autisme memiliki masalah dalam hal komprehensi dan berpikir secara abstrak. Mereka akan kesulitan dalam mengerjakan soal cerita, misalnya. Tapi, lagi-lagi, tentu tidak semua anak ASD mengalami masalah ini.

Kenapa mereka bisa jadi autis?

Penyebab autisme, sejauh yang saya ketahui, masih menjadi perdebatan di kalangan para ilmuwan psikologi dan neuroscience. Yang jelas, tidak ada bukti yang valid bahwa vaksinasi menyebabkan autisme. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap saudara dengan autisme (twin and sibling studies) menunjukkan bahwa autisme merupakan gangguan genetis. Namun, berbeda dengan down syndrome, autisme bukan disebabkan oleh gangguan di salah satu kromosom.



Apa yang bisa saya lakukan kalau saya bertemu dengan anak ASD?

Saya juga sejujurnya masih suka bingung harus ngapain kalau bertemu dengan anak (yang saya curigai) ASD di tempat umum. Tapi, yang paling pasti, saya memilih untuk tidak memperhatikan mereka dengan sinis. They might act weird, they might disturb you by saying things repeatedly, but they are not doing that on purpose. It obviously is beyond their control! Bukan salah mereka kalau mereka tidak bisa mengikuti norma sosial yang berlaku. Bukan salah orang tuanya juga. Jadi, kita yang neuro-typical ini lah yang harus ngalah dan menerima perbedaan.

“I’m different, but not less.” – Temple Grandin


Anak-anak ASD mungkin terlihat berbeda. In fact, mereka melihat dunia dengan cara pandang yang berbeda. Tapi bukan berarti mereka lebih buruk dari kita. Beberapa dari mereka bahkan memiliki kelebihan-kelebihan khusus: Kemampuan imajinasi yang luar biasa, kemampuan menggambar dan memperhatikan objek dengan detil, kemampuan menghapal, atau kemampuan lain. 

Yuk mulai perlakukan individu autistik dengan lebih baik! Happy belated autism awareness day! :)

Thursday, May 1, 2014

Sebut Saja Rasya

Sebut saja Rasya. Anak laki-laki berusia delapan tahun. Lahir di Perancis dan dibesarkan di dalam lingkungan dengan Bahasa Perancis, Bahasa Inggris,  dan Bahasa Indonesia. Rasya terlambat bicara. Kemampuan inteligensinya mungkin rata-rata, tapi ia tidak bicara. Entah tidak bisa atau tidak mau. Buat saya, Rasya adalah misteri.

Rasya pernah didiagnosis autistik oleh salah satu psikolog. Terang saja, ketika saya pertama kali bertemu dengan Rasya, ia sedang asik bermain sendiri di bawah meja ketika gurunya sedang menjelaskan. Selama satu tahun pertama di sekolah dasar,  Rasya terjebak di dalam kelas mainstream, dengan seorang shadow teacher sebagai pendamping. Meskipun ada di kelas mainstream, saya langsung menyadari ada yang berbeda dari Rasya sejak pandangan pertama. 

Ketika pertama kali diantar ke bagian special education untuk melakukan trial (karena ia dirasa lebih baik berada di lingkungan Spec-Ed),  Rasya mengamuk. Ia menangis, diam, dan meminta untuk kembali ke kelas satu.

Seminggu pertama di bagian Spec-Ed, Rasya mulai merasa nyaman. Ia mulai mau bermain dengan anak-anak lain di Spec-Ed. Rasya sudah tidak lagi menangis. Namun, ia masih enggan bicara. Ia memilih untuk diam,  atau hanya bertanya "apa?" berulang-ulang, seolah-olah tidak mengerti pertanyaan yang diberikan.

Lama kelamaan, Rasya mulai merasa nyaman. Ia menemukan teman dekat dan asik bermain dengan mereka. Rasya lebih percaya diri. Kemampuan akademiknya pun melesat jauh.  Rasya sudah mulai bisa membaca, dan menguasai matematika sesuai dengan usianya.  Semua guru makin yakin kalau Rasya bukan anak autistik. Rasya hanya memilih untuk diam, entah kenapa. Saya juga belum punya kapasitas untuk memberikan diagnosis. Mungkin selective mustism? Entahlah.

Imajinasi, preokupasi, dan bakat Rasya

Setiap pagi, Rasya dan temannya, sebut saja Rama, selalu datang lebih pagi daripada saya. Ketika melewati mereka setiap pagi, saya selalu menyapa mereka berdua. Terkadang saya hanya menyapa Rama, lalu menikmati pandangan Rasya yang ingin sekali disapa. 

"Sya, bilang apa kalau ketemu Bu Ayas?"
"Apa?"
"Selamat......  apa Sya?"
"Selamat apa?"
"Selamat pagi atau selamat malam?"
"Apa?"
"Selamat pagi Bu Ayas....  gitu Sya."
"Selamat pagi Bu Ayas...." kata Rasya dengan suara yang nyaris tak terdengar, sambil tersenyum iseng.


Kejadian itu berulang beberapa kali, sampai akhirnya... 
"Bilang apa Sya kalau ketemu Ibu Ayas?"
"Apa?"
"Bilang apa hayo....? Selamat..... "
"Selamat pagi Bu Ayas!"
"Selamat pagi, Sya!"

Hingga tadi pagi, 
"Eh Rasya...  Ayo,  harus bilang apa? "
"Selamat pagi Ibu Ayas!"

Bukan hanya itu. Rasya kini aktif mengangkat tangannya dalam diskusi kelompok kecil maupun besar. Dahulu,  diberikan direct questions ketika berdiskusi pun ia hanya diam. Rasya masih suka kesulitan karena kosa kata yang ia miliki memang masih terbatas. Tapi sekarang ia bisa bertanya jika tidak mengerti. 
"Ini Bahasa Indonesianya apa?"
"Tulisnya gimana? Aku nggak bisa tulisnya."


Bagi saya, pencapaian Rasya semester ini sungguh luar biasa. Melihatnya tumbuh dan berbahagia adalah salah satu sumber kebahagiaan saya setiap hari.


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...